TEMPO.CO, Jakarta - Nur Rachmat Yuliantoro Dosen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) menilai posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah Presiden merupakan suatu hal yang menghambat proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Selama 100 hari kerja Prabowo-Gibran, pemberantasan korupsi di era Prabowo dan Gibran memunculkan tanda tanya mengenai status independensi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Menempatkan KPK di bawah Presiden itu sesuatu yang tidak banyak membantu proses penegakan hukum atau pemberantasan korupsi. Itu artinya, KPK bertanggung jawab kepada Presiden dan Presiden punya kewenangan untuk mengatur KPK,” kata Rachmat kepada Tempo pada Jumat, 31 Januari 2025.
Sejak era pemerintahan Jokowi hingga memasuki babak baru rezim Prabowo, banyak kasus mengenai pimpinan dan elite politik yang terjerumus dalam dugaan kasus korupsi. Deretan kasus tersebut menuai banyak kekecewaan sebab dinilai tidak berjalan sebagaimana sifat independensi KPK sebagai lembaga yang berperan memberantas korupsi.
“Tiada hari berlalu di Indonesia tanpa adanya kasus yang melibatkan politik. Dari banyak kasus yang saya sekarang sedang ramai dibicarakan, salah satunya soal dugaan keterlibatan Menteri Koperasi Budi Arie dalam judi online sewaktu masih menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika,” katanya. Kasus yang menyeret eks Menteri Kominfo Indonesia pada masa Jokowi tersebut memperlihatkan ketidakseriusan pemerintahan Prabowo menindak kasus korupsi yang baru terungkap walau sejak lama terjadi.
Rachmat juga menyoroti kasus Firli Bahuri, mantan Ketua KPK yang belum mendapat penanganan final atas kasus korupsi mulai dari rezim pemerintahan sebelumnya hingga memasuki masa Prabowo.
Rachmat mengatakan, “Padahal kasusnya sudah berlangsung bertahun-tahun ketika Presiden sebelumnya menjabat. Kan, Pak Firli juga sudah diproses tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda kasusnya akan diseriusi.”
Pemimpin KPK yang baru saat ini tidak diproduksi oleh kepala yang berkuasa saat ini. Setyo Budiyanto selaku Ketua KPK yang baru diangkat lewat proses politik yang berlangsung di bawah kepresidenan sebelumnya. Rahmat menilai muncul proses bargaining atau negosiasi politik yang berlangsung sehingga hasilnya adalah proses penanganan korupsi yang stagnan sebagai kondisi yang bisa diamati bersama saat ini.
Banyak aktivis antikorupsi yang ragu dengan pengangkatan para Ketua KPK yang memiliki latar belakang sebagai bagian dari Polisi Republik Indonesia (Polri), termasuk Setyo dan Firli.
“KPK dengan segala macam resources yang dia punya dengan kewenangan yang begitu besar, menangkap satu orang saja tidak bisa. Ibatanya, KPK ini dipegangi. KPK mau jalan kencang tetapi tangannya dipegang untuk tidak dibolehkan kencang,” ujar Rachmat.
Terkait dengan berjalannya pemerintahan Prabowo-Gibran selama memasuki lebih dari 100 hari kerja ini, Rachmat menganggap bahwa tidak ada peran signifikan Gibran dalam pelaksanaan politik dan pemberantasan korupsi.
“Tidak ada (peran). Bagaimana mungkin kita mengharapkan ada pemimpin yang punya komitmen untuk pemberantasan korupsi ketika pemimpin tersebut hadir lewat proses yang koruptif?” ujarnya.
Tindakan korupsi tidak hanya dipahami sebagai sesuatu yang sifatnya material. Tindakan penyalahgunaan kewenangan juga harus dimaknai sebagai salah satu bentuk korupsi, seperti dalam konteks penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana Jokowi selaku Presiden sebelumnya menghalalkan Gibran maju menjadi Wakil Presiden dengan mengubah konstitusi.
“Jika dia (Gibran) menunjukkan respon positif ibarat menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Dia mengatasi isu-isu korupsi tapi dia sendiri anak dari rahim yang koruptif,” katanya.
Rachmat menuturkan pentingnya kesadaran rakyat Indonesia, terutama elite politik untuk memandang bila korupsi bukan hanya soal uang atau materi. Korupsi dapat berupa penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
“Para pendukung Jokowi mempertanyakan nominasi sebagai salah satu dari lima pemimpin terkorup di dunia itu membuktikan bahwa mereka berpikir konteks korupsi adalah sesuatu yang sifatnya material, gitu, Nah, itu perlu kita ubah,” kata Rachmat, menegaskan.
Pilihan Editor: Sebelumnya Bilang akan Kejar Koruptor Walau Sampai Antartika, Kini Prabowo Wacanakan Ampuni Koruptor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini