TEMPO.CO, Jakarta - Pesawat Jeju Air mengalami kecelakaan yang memakan 179 korban jiwa pada Minggu, 29 Desember 2024. Pesawat yang terbang dari Bangkok, Thailand, menuju Korea Selatan tersebut jatuh ketika ingin mendarat di Bandara Internasional Muan, Provinsi Jeolla Selatan, Korea Selatan.
Dilansir dari Antara, kronologi kecelakaan dimulai dari sejak keberangkatan dari Bangkok pada Minggu, 29 Desember 2024, pukul 02.29 dan akan mendarat pada 09.00 waktu Korea Selatan. Jeju Air keluar dari landasan pacu dan menabrak dinding pagar bandara saat akan mendarat di Bandara Internasional Muan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akibat dari insiden tersebut, Jeju Air terbakar sampai mengeluarkan asap hitam. Api berhasil dipadamkan pukul 01.00 waktu Korea Selatan. Setelah itu. evakuasi dan pencarian dilakukan terhadap korban.
Dirangkum dari sumber, berikut beberapa fakta terkait kecelakaan pesawat Jeju Air:
1. Disebut Kecelakaan yang Terburuk di Korea Selatan
Kementerian Transportasi Korea Selatan menyebut jatuhnya Jeju Air merupakan kecelakaan udara paling mematikan dan terburuk di Korea Selatan. Pasalnya, kejadian ini melibatkan maskapai penerbangan Korea Selatan dalam hampir tiga dekade.
Presiden dan CEO Flight Safety Foundation, Hassan Shahidi, menyebut maskapai perbangan Korea Selatan telah memiliki sistem manajemen keselamatan sesuai audit Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). “Kecelakaan ini sangat, sangat menyedihkan dengan banyaknya korban jiwa yang telah kita lihat," kata Shahidi seperti dilansir CNN pada Senin, 30 Desember 2024.
Data Kementerian Perhubungan menuliskan kecelakaan pesawat yang juga melibatkan maskapai Korea Selatan terjadi tahun 1997. Kecelakaan pesawat Korean Air menewaskan lebih dari 200 orang di hutan Guam.
2. Lima Jenazah Masih Belum Teridentifikasi
Jeju Air mengangkut 175 penumpang dan 6 awak pesawat dalam perjalanannya menuju Korea Selatan. Dalam keterangan terbaru, dikabarkan 175 penumpang dan empat dari enam awak tewas terbakar.
Pesawat tersebut menghantam tanggul dengan kecepatan yang tinggi. Alhasil pesawat meledak menjadi bola api besar. Dalam kejadian tersebut, mayat berhamburan ke ladang di sekitarnya. Sedangkan bagian tubuh pesawat yang tersisa hanya bagian ekor pesawat saja.
Dikutip dari Channel News Asia, Sampai dengan Selasa, 31 Desember 2024, ada lima jenazah yang masih belum teridentifikasi. Badan Kepolisian Nasional telah mengupayakan menambah jumlah personel dan alat analisis DNA cepat untuk mempercepat hal tersebut.
3. Serangan Burung Menjadi Salah Satu Penyebab
Direktur Pemasaran dan Wakil Presiden Pengembangan Bisnis di Advanced Academy, Armstrong, menjelaskan tabrakan burung menjadi salah satu penyebab kecelakaan. “Jangan pernah berkata tidak dalam dunia penerbangan,” kata dia seperti dilansir dari CNN pada Senin, 30 Desember 2024.
Menurut Badan Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA), pada 2023, terdapat 19.603 tabrakan antara pesawat dengan burung. Ini meningkat 14 persen daripada 2022 sebanyak 17.205 tabrakan.
Walaupun demikian, Armstrong tetap mempertanyakan mengapa roda tidak muncul saat melakukan pendaratan. “Kami jelas berusaha agar pilot menjalani pelatihan lebih cepat… sampai kami mendengar kata-kata dari pilot dan kokpit tentang apa yang terjadi, barulah kami dapat menyoroti di mana hal itu perlu dilakukan,” tambahnya.
Dalam keterangan terkait, pensiunan penyelidik senior keselamatan udara untuk NTSB, Ed Malinowski, mengatakan ada tiga hal utama yang diperiksa pada peristiwa ini. Mulai dari pilot, lingkungan, dan juga pesawat. “Saat Anda tiba di lokasi kecelakaan, Anda menangkap banyak hal yang tidak akan ada di sana seperti halnya saat anda tiba di sana,” ujarnya.
Dewi Rina Cahyani turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.