AJI Soroti Potensi Ancaman Kebebasan Pers dalam Draf RUU KUHAP

1 week ago 22

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nany Afrida turut menyoroti draf revisi Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP. Nany menyebut ada pasal dalam RUU tersebut yang berpotensi mengganggu kebebasan pers.

Nany secara spesifik mencontohkan aturan yang melarang publikasi persidangan secara langsung atau live tanpa persetujuan pengadilan. Padahal kerja pers, kata dia, seharusnya transparan. "Kita harus tahu apa yang terjadi di dalam," ucap Nany seusai diskusi dengan Ketua Komisi III DPR Habiburokhman, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Selasa, 8 April 2025. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam draf Rancangan KUHAP Pasal 253 ayat (3) tertulis, setiap orang yang berada di sidang pengadilan dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan.

Nany menyebut publikasi persidangan merupakan kepentingan umum ketika proses pengadilan berlangsung. Apalagi, kata dia, kalau persidangannya melibatkan kasus-kasus seperti korupsi atau pembunuhan berencana. “Kecuali kalau seandainya pengadilan tentang kekerasan seksual, itu mungkin tertutup dan kami kan punya etika soal itu,“ ujar dia. 

Menurut Nany, wartawan pun pasti paham dan tak akan meliput persidangan yang berisi isu sensitif seperti kekerasan seksual. "Tapi yang berhubungan dengan kepentingan umum, ya pasti kita harus liput," kata Nany. 

Ia mengatakan, membuka akses bagi jurnalis untuk mengetahui jalannya persidangan sangat penting. "Makanya kami dari AJI itu semangat untuk, kalau bisa jangan mengganggu kerja-kerja kita lah sebagai jurnalis," tutur Nany. 

Komisi III DPR mengundang Koalisi Masyarakat Sipil untuk berdiskusi mengenai RUU KUHAP meski masih dalam masa reses. Selain AJI, anggota koalisi yang turut hadir di antaranya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Indonesian Legal Resource Center (ILRC). 

Pertemuan antara Koalisi dan DPR tersebut bersifat informal. Hanya Ketua Komisi III DPR Habiburokhman yang hadir mewakili komisi yang membawahi bidang hukum, hak asasi manusia, dan juga keamanan negara itu. 

Adapun Habiburokhman sebelumnya sempat mengatakan akan mengundang pimpinan redaksi media massa supaya bisa mendapat masukan mengenai Rancangan KUHAP.

“Kami sangat-sangat menghargai hak publik mendapatkan informasi dan hak wartawan untuk menyebarluaskan informasi,” kata Habiburokhman dalam konferensi pers usai rapat dengar pendapat di Jakarta pada Senin, 24 Maret 2025.

Rancangan KUHAP ini akan mengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Beleid itu mengatur tata cara penegakan hukum pidana, mulai dari proses penyelesaian kasus pidana hingga penegakan hak untuk tersangka dan terdakwa.

DPR sudah memutuskan RUU Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menjadi rancangan undang-undang usul inisiatif parlemen. Persetujuan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 pada 18 Februari 2025.

Rancangan KUHAP pun masuk Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025 yang diusulkan Komisi Hukum DPR. Komisi tersebut menyatakan, RUU KUHAP mendesak untuk segera dibahas. Sebab, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang baru akan berlaku pada 2 Januari 2026.

M. Raihan Muzakki berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |