Alasan Mengapa Surplus Neraca Perdagangan Kian Ciut

1 day ago 21

TEMPO.CO, Jakarta - Surplus neraca perdagangan terus menciut. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan pada April 2025 hanya US$ 160 juta atau terendah dalam 60 bulan.

Ada beberapa alasan mengapa surplus perdagangan Indonesia terus menciut. Dosen Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syarifuddin Karimi, mengatakan surplus perdagangan yang kian mengecil mencerminkan tekanan eksternal dan kelemahan struktural pada sektor perdagangan luar negeri. Syafruddin menyatakan anjloknya surplus pada April 2025 jauh di bawah ekspektasi pasar, yakni sebesar US$ 3,04 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Syafrudin, lonjakan impor sebesar 21,84 persen terutama dari Cina dan Singapura mencerminkan gangguan pasokan jangka pendek sekaligus dipicu kebijakan tarif proteksionis Presiden Amerika Serikat Donald Trump. "Sekaligus menunjukkan ketergantungan tinggi pada barang modal luar negeri,” ucapnya.

Syafrudin mengatakan, pertumbuhan ekspor 5,76 persen tidak cukup mengimbangi lonjakan impor. Apalagi, kata Syafrudin, ketika ekspor produk tambang anjlok lebih dari 20 persen akibat lemahnya harga batu bara dan beban tarif 10 persen dari AS yang mulai berlaku awal April lalu.

Menurut Syarifuddin, penyusutan tajam surplus neraca tersebut tidak dapat dianggap sebagai fluktuasi musiman. Ia menilai diperlukan transformasi kebijakan perdagangan luar negeri. "Termasuk memperluas pasar ekspor non-tradisional, memperkuat daya saing produk manufaktur, dan merespons agresif praktik dagang diskriminatif melalui diplomasi ekonomi,” ujarnya.

BPS melaporkan surplus perdagangan Indonesia pada April 2025 sebesar US$ 160 juta. Nilai ekspor pada April 2025 mencapai US$ 20,74 miliar dengan pengiriman produk non-minyak dan gas mencapai US$ 19,57 miliar atau naik 7,17 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara nilai impor mencapai US$ 20,59 atau naik 21,84 persen dibanding tahun sebelumnya.

Cina menjadi pasar ekspor utama komoditas non migas dengan nilai mencapai US$ 18,87 miliar (22,86 persen), disusul Amerika Serikat sebesar US$ 9,38 miliar (11,36 persen) dan India sebesar US$ 5,59 miliar (5,77 persen). Ekspor ke Cina didominasi oleh besi dan baja, bahan bakar mineral, dan nikel. Sedangkan komoditas utama ke Amerika Serikat diantaranya mesin dan perlengkapan elektrik, alas kaki, serta pakaian dan aksesorisnya.

Dari sisi impor, BPS mencatat nilai impor Januari-April 2025 sebesar US$ 76, 29 miliar atau naik 6,27 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya. Penyumbang utama masih berasal dari sektor non migas sebesar US$ 65,29 miliar dengan kenaikan 9,18 persen. Sedangkan untuk impor sektor migas mengalami penurunan sebesar 8,27 persen menjadi US$ 11 miliar.

Esther Ilona turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Pro-Kontra Jam Malam Pelajar ala Dedi Mulyadi

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |