TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menerapkan kebijakan baru yakni memberikan pendidikan masuk barak militer untuk siswa yang dianggap nakal. Pendidikan ini melibatkan TNI-Polri dan sudah dimulai di Purwakarta dan Bandung. “Di Purwakarta 30 (anak). Yang hari ini di sini 30 di Kota Bandung,” katanya selepas memimpin apel Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) Tingkat Provinsi Jawa Barat di Lapangan Kujang Rindam III/Siliwangi, Bandung, Jumat, 2 Mei 2025.
Kriteria anak dalam pendidikan semi militer tersebut dimulai dari jenjang pendidikan SMP. Dedi menjelaskan kriteria yang dimaksud adalah anak-anak yang sudah mengarah tindakan kriminal dan orang tuanya tidak punya kesanggupan untuk mendidik. "Jadi, kalau orang tuanya tidak menyerahkan kami tidak akan menerima,” kata Dedi Mulyadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan baru Dedi Mulyadi ini mendapat banyak sorotan dan kritik.
Tidak Menyentuh Akar Persoalan
Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) menolak kebijakan Pemerintah Jawa Barat mengirim anak-anak nakal ke barak militer untuk menjalani pembinaan. "Pendekatan militeristik terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum atau memiliki latar belakang sosial bermasalah tidak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya. Yakni, kegagalan sistem pengasuhan di tingkat keluarga dan minimnya intervensi berbasis perlindungan anak di tingkat lokal," kata Direktur Eksekutif Yayasan PKPA Keumala Dewi, dilansir dari Antara, Selasa, 6 Mei 2025.
Ketua Komisi bidang Pendidikan DPR Hetifah Sjaifudan mengkritik keputusan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengirim anak nakal ke barak militer. Hetifah mengatakan pendidikan karakter dan bela negara memang menjadi kurikulum pemerintahan saat ini, tapi implementasinya bukan mengirim siswa ke barak. "Konsep bela negara lebih ditekankan pada pembangunan kesadaran nasionalisme, cinta tanah air, dan kesiapan mental. Bukan melalui pelatihan militer," kata Hetifah.
Kurang Tepat
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Latipulhayat menilai program tersebut kurang tepat, karena Kementerian Pendidikan Dasar telah memiliki mekanisme baku bagi menangani siswa yang nakal. “Dengan guru-guru bimbingan konseling untuk menangani persoalan yang berkaitan dengan siswa, termasuk di dalamnya yang disebut kenakalan siswa, ditangani oleh guru BK,” kata Atip, Senin, 28 April 2025.
Ia juga menambahkan, bahwa penanganan terhadap siswa nakal lebih tepat menggunakan pendekatan edukatif. Karena itu ia menilai masuknya siswa ke barak militer bukan solusi. “Nanti malah konotasinya kurang baik, kok militerisasi di dalam Pendidikan Indonesia?,” kata dia.
Pendekatan Psikologi
Dewan Kehormatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mengatakan bahwa sekolah sudah memiliki mekanisme penanganan siswa nakal melalui bimbingan konseling. Guru BK akan menangani lewat pendekatan psikologi. Heru juga mempertanyakan asupan gizi siswa yang dibawa ke barak militer. “Siapa yang memberikan asupan nutrisi kepada mereka kalau seandainya diasramakan 6-12 bulan?,” katanya.
Menurut Heru penyebab kenakalan siswa bukan faktor tunggal, melainkan perilaku yang dipengaruhi lingkungan, masyarakat, keluarga, sekolah. Ia berpendapat faktor tersebut diselesaikan terlebih dahulu sebelum membawa siswa ke barak.
Mengacaukan Kurikulum
Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Imam Zanatul Haeri memperkirakan program masuk barak militer untuk siswa nakal akan menyulitkan guru. Pemerintah Jawa Barat harus mempertimbangkan lokasi rumah guru ataupun tempatnya mengajar yang jauh dari barak militer. “Siapa yang menanggung ongkos transportasinya? Apakah masuk dalam gaji guru atau di-cover oleh pemda?” kata iman.
Iman juga meminta pemerintah memperjelas terkait mekanisme dan kategori anak nakal yang dikirim ke barak. Ia berpendapat program tersebut akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara pemerintah provinsi, Kementerian Pendidikan Dasar, dan Kementerian Agama. Hal ini juga bisa mengacaukan kurikulum sekolah yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan Dasar atau Kementerian Agama.
Bertentangan dengan Hukum
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan pelibatan tentara dalam mendidik anak bukan kebijakan yang tepat. Ia mengatakan bahwa selama ini aparat kerap mempertontonkan kekerasan. "Jadi, ini seolah kebijakan yang baik, tapi sebenarnya ini berbahaya," kata Isnur pada Sabtu, 26 April 2025.
Ia menilai kebijakan ini bertentangan dengan hukum di antaranya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. "Di mana di sana diatur bagaimana melakukan pendidikan terhadap anak, termasuk anak-anak yang berhadapan dengan hukum," ucap Isnur.
Ahmad Fikri, Eka Yudha Saputra, Sultan Abdurrahman, Kukuh S. Wibowo, Andi Adam Faturahman turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: DPR Kritik Langkah Dedi Kirim Anak Nakal ke Barak Militer