TEMPO.CO, Jakarta - Banjir yang melanda wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) pada awal tahun 2025 memang menimbulkan kekhawatiran besar bagi masyarakat. Dampak ini bahkan terlihat dalam catatan curah hujan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa hujan ekstrim yang terjadi pada bulan Januari akhir sampai awal Februari mencapai 300 mm dalam 24 jam.
Dengan curah hujan sedemikian rupa, banjir di Jabodetabek kali ini memberikan dampak kerugian yang besar. Ribuan rumah terendam dan aktivitas masyarakat terganggu. Di Jakarta, BPBD mencatat 59 RT terendam banjir akibat hujan deras dan luapan Kali Ciliwung. Wilayah yang paling terdampak antara lain Kelurahan Pejaten Timur, Tanjung Barat, dan Pengadegan di Jakarta Selatan, serta Bidara Cina dan Kampung Melayu di Jakarta Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain tingginya curah hujan, kondisi banjir yang semakin memberikan dampak yang jauh lebih besar ini diakibatkan faktor-faktor ekologi yang sudah jauh berbeda dengan tahun 2022. Salah satunya adalah kondisi permukaan tanah di Jabodetabek.
Peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yus Budiono, mengungkapkan bahwa penurunan muka tanah merupakan penyebab utama meningkatnya risiko banjir di Jabodetabek. Bahkan disebutkan bahwa sebanyak 145 persen dari penurunan tanah inilah yang memberikan peningkatan risiko banjir di Jabodetabek.
Di lain sisi, tata kelola ruang yang sudah menghilangkan lahan serapan air harus masuk ke dalam perhitungan penyebab banjir di Jabodetabek tahun ini. Perubahan tata guna lahan yang tidak terkendali, seperti pengurangan luas hutan dan daerah resapan air di wilayah hulu, meningkatkan risiko banjir hingga 12 persen dan 3 persen peningkatan risiko banjir ini dipengaruhi oleh kenaikan muka air laut.
Dengan adanya peningkatan risiko dan dampak banjir di Jabodetabek dari tahun 2022, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyoroti bahwa banjir yang terjadi di Jabodetabek merupakan bencana ekologis akibat akumulasi krisis lingkungan. Perubahan tutupan lahan di bagian selatan Jabodetabek, yang terlihat dari citra satelit, menunjukkan masifnya pembangunan yang tidak sesuai dengan tata ruang.
Walhi menyebutkan bahwa hal ini mengakibatkan daerah tersebut lebih rentan terhadap banjir, meskipun curah hujan pada tahun 2025 belum sebesar yang terjadi pada tahun 2020. Belum lagi menyebutkan bahwa Walhi Jawa Barat sudah mencatat tingkat kerusakan lingkungan di kawasan Hutan Puncak Bogor meningkat dari 45 persen menjadi 65 persen.
"Krisis itu disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem pengelolaan sumber daya alam yang telah mengakibatkan hancurnya lingkungan, baik permukiman maupun ekosistem yang ada," ujar Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Walhi Eksekutif Nasional Dwi Sawung melalui keterangan tertulis, Sabtu, 8 Maret 2025 kepada Tempo.
Namun, dalil bahwa curah hujan yang tinggi tetap menjadi salah satu alasan utama terjadinya banjir ini dan dengan demikian melalui BMKG pemerintah mengatasinya dengan program Operasi modifikasi Cuaca. Setelah banjir besar pada akhir Februari 2025, BMKG memprediksi adanya cuaca ekstrem yang akan melanda Jakarta.
Mengutip dari Antara, Pemprov Jakarta yang melihat ini memberikan respons penanggulangan banjir juga. Mereka sudah menggelar OMC tahap kedua. BPBD Jakarta melaporkan bahwa setelah pelaksanaan OMC, Jakarta terhindar dari hujan ekstrem dengan pengurangan curah hujan mencapai 50-60 persen.
Dari Kementrian Kehutanan sendiri melalui Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Rehabilitasi Hutan Kementerian Kehutanan, Dyah Murtiningsih mengatakan banjir di Jakarta dan sekitarnya memerlukan pemantasu daerah aliran sungai (DAS) saja dan menggunakan pendekatan hukum pidana.
Ia menyebutkan dalam konferensi pers di Kementerian Kehutanan, 20 Maret 2025 lalu bahwa banjir ini menjadi momentum. Yakni sebuah momentum evaluasi pihak pemerintah untuk lebih berkoordinasi dengan lebih baik lagi karena banjir ini adalah persoalan tata ruang.
Walau disebut sebagai salah satu persoalan tata kelola ruang, banjir akibat intensitas hujan yang tinggi ini masih perlu dipantau. Sejauh ini, BMKG masih terus memantau kondisi cuaca dan memberikan peringatan dini kepada masyarakat. Pada awal Maret 2025, BMKG juga sudah memprediksi hujan dengan intensitas tinggi masih akan terjadi. Bahkan kemungkinan banjir rob akan ada sehingga beberapa daerah diminta untuk tetap waspada.
Irsyan Hasyim dan M. Faiz Zaki berkontribusi dalam penulisan artikel ini.