Budi Arie: Rentenir dan Tengkulak Untung Rp 300 Triliun dari Rantai Pasok Pangan Desa

3 months ago 70

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi mengatakan berdasarkan data Kementerian Pertanian, rentenir dan tengkulak mendapatkan keuntungan hingga Rp 300 triliun dari proses distribusi produk desa ke kota. “Rentenir, tengkulak ini Rp 300 triliun diambil dari desa, dari mulai selisih harga misalnya beli wortel Rp 500 dijual ke kota 5 ribu,” kata Budi Arie dalam sesi rapat kerja dengan Komisi VI, di Kompleks Parlemen, Senin, 26 Mei 2025. 

Budi Arie mengatakan rentenir dan tengkulak menyebabkan produk bersubsidi seperti elpiji dan pupuk dijual lebih mahal daripada harga yang ditetapkan pemerintah. Ia menyontohkan harga pupuk bersubsidi yang dikenakan tarif Rp 2.300 per kilogram tetapi meroket menjadi Rp 4.800 setelah melalui proses distribusi. “Pupuk masih dibeli dengan mahal, elpiji harga market, padahal negara sudah subsidi,” ujar Budi. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia mengatakan nantinya kehadiran Koperasi Desa Merah Putih akan memutus mata rentenir dan tengkulak. Koperasi itu, kata Budi, akan menjadi penyalur komoditas dari petani. “Kalau ditanya, koperasi monopoli? Dalam undang-undang kita cuman dua lembaga yang boleh monopoli pertama BUMN, kedua koperasi,” kata dia. 

Budi menjelaskan izin monopoli itu juga direstui oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) serta Pasal 50 Undang-Undang Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam huruf i Pasal 50 undang-undang tersebut disebutkan bahwa kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya menjadi pengecualian dari larangan praktek monopoli. “Kenapa boleh? Karena koperasi milik orang banyak, bukan satu atau dua orang,” ujar Budi. 

Budi mengatakan Koperasi Desa Merah Putih juga akan kebagian untung dari hilangnya rantai perantara itu. “Ketika saya bilang satu desa untung Rp 1 miliar, hitungannya begini, kalau dari Rp 300 triliun itu kita pangkas 30 persennya saja sudah Rp 60 triliun,” ujar dia. 

Kendati pemerintah menyatakan kehadiran Koperasi Desa Merah Putih bisa memutus rantai tengkulak, Center of Economic and Law Studies (Celios) justru menilai badan usaha itu berpotensi menjadi tengkulak. “Sangat mungkin sekali koperasi desa jadi tengkulak berseragam, tengkulak yang legal,” kata Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar, saat dihubungi, pada Ahad, 4 Mei 2025. 

Askar mengatakan koperasi itu berpeluang membeli komoditas dari masyarakat dengan harga murah untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Keuntungan itu, kata Askar, diperlukan untuk membayar pinjaman dari Himpunan Bank Milik Negara atau Himbara.

Sebab koperasi yang diinisiasi oleh Presiden Prabowo Subianto itu akan didanai oleh bank plat merah dengan pinjaman sebesar Rp 4 hingga Rp 5 miliar. “Kopdes dipaksa mendapatkan keuntungan tinggi untuk membayar tadi dan tentunya ada potensi justru menjadi tengkulak bertamengkan koperasi desa,” ujar dia. 

Menurut Askar potensi koperasi itu menjadi tengkulak juga diperkuat oleh permasalahan transparansi dan akuntabilitas kelembagaan. Sebab hingga saat ini, kata dia, belum jelas siapa pengelola dan pengurus koperasi itu.

Apabila praktik tengkulak terjadi, Askar mengatakan sulit untuk mengontrol kondisi moral hazard di tingkat desa. Menurut dia para pelaku praktik tengkulak itu bisa melancarkan aksi mereka dengan mengatasnamakan program pemerintah. “Akhirnya sumber daya justru bergeser dari satu pemain ke emain lainnya dan koperasi desa itu menjadi pemain baru,” kata dia.

Askar mengatakan, Koperasi Merah Putih bisa saja membawa manfaat apabila pendanaannya lebih inklusif. Namun, persoalannya, kata dia, Koperasi Merah Putih dibentuk secara top-down dan berlawanan dengan konsep koperasi yang semestinya dibentuk berdasarkan prinsip kebersamaan, keadilan, dan usaha kolektif. Hal itu tergambarkan dengan skema pembiayaannya yang ditentukan oleh pemerintah pusat. 

Dengan pola pembentukan yang sentralistik itu, Askar mewanti-wanti potensi koperasi itu mengalami kegagalan. Manfaatnya bisa jadi sangat-sangat kecil, justru yang terjadi adalah bencana termasuk masalah keuangan karena membebani fiskal kita.”

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |