Dosen UII: IHSG Anjlok Bisa Jadi Momentum Perbaikan Sistem Keuangan Lebih Tangguh

3 days ago 18

TEMPO.CO, Jakarta - Sederet efek domino dari dampak negatif Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG anjlok tengah mengintai perekonomian Indonesia. Mulai dari capital flight di mana investor asing menarik modal mereka hingga potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) buntut perusahaan alami krisis likuiditas akibat anjloknya harga saham.

Namun, dosen dan peneliti dari Universitas Islam Indonesia (UII), Listya Endang Artiani, mengatakan di samping pasar modal yang bergejolak sering kali dianggap sebagai sinyal bahaya, anjloknya IHSG juga dapat menjadi pemicu perubahan yang lebih baik. Kondisi ini bisa menjadi peluang untuk membangun sistem keuangan yang lebih tangguh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Anjloknya IHSG bukan hanya peringatan, tetapi juga peluang bagi pemerintah dan regulator untuk membangun sistem keuangan yang lebih tangguh, transparan, dan adaptif terhadap tantangan global,” katanya keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Senin, 24 Maret 2025.

Seperti diketahui, Bursa Efek Indonesia (BEI) terpaksa menerapkan trading halt selama 30 menit pada Selasa, 18 Maret 2025 lalu. Hal ini buntut IHSG anjlok 5,02 persen ke level 5.146. Bahkan, kendati perdagangan saham periode 17-21 Maret ditutup pada zona positif, namun IHSG masih menunjukkan tren terpuruk di angka 3,95 persen ke level 6.258,179.

Menurut Listya, yang merupakan Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII ini, indeks saham adalah barometer atau tolok ukur kepercayaan ekonomi. Jika indeks terjun bebas, artinya ekspektasi investor terhadap prospek ekonomi memburuk. Listya berpendapat, anjloknya IHSG bisa menjadi awal dari krisis kepercayaan yang lebih dalam.

“Di mana investor mulai mempertanyakan stabilitas makroekonomi, kebijakan pemerintah, serta transparansi dan akuntabilitas perusahaan-perusahaan besar,” katanya.

Listya mengatakan, di balik gejolak pasar ini, salah satu penyebabnya adalah terkait Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Daya Anagata Nusantara (Danantara), yang menjadi pilar utama perekonomian Indonesia. Ketidakpastian saham-saham BUMN, kata dia, dapat mendorong aksi jual masif karena investor enggan mengambil risiko terhadap sesuatu tidak transparan.

“Jika investor mulai melihat perusahaan strategis sebagai entitas yang tak sehat secara finansial atau rentan terhadap intervensi politik, maka tekanan jual akan semakin kuat dan bisa meluas ke seluruh pasar,” kata Listya.

Menurut Listya, fenomena anjloknya IHSG bisa jadi momentum perubahan yang lebih baik. Caranya dengan memperbaiki tata kelola BUMN, meningkatkan transparansi kebijakan fiskal dan moneter, serta memperkuat regulasi di sektor keuangan, Indonesia dapat menciptakan iklim investasi yang lebih stabil dan menarik bagi investor domestik maupun asing.

Bagi investor, volatilitas ini bukan sekadar ancaman, tetapi juga momen pembelajaran tentang pentingnya strategi investasi yang bijak. Diversifikasi portofolio, analisis fundamental yang kuat, serta pemahaman yang lebih baik terhadap mekanisme pasar modal akan membantu investor menghadapi ketidakpastian tanpa terjebak dalam kepanikan.

“Dengan meningkatnya literasi keuangan dan partisipasi investor retail yang lebih rasional, stabilitas pasar modal Indonesia dapat terjaga, bahkan semakin kuat dalam jangka panjang,” katanya.

Lebih dari sekadar tantangan, gejolak IHSG ini menurut Listya adalah panggilan bagi semua pihak untuk berbenah, beradaptasi, dan berinovasi. Krisis bukanlah akhir, kondisi ini merupakan titik balik menuju ekonomi yang lebih solid, inklusif, dan berkelanjutan. Dengan kebijakan yang tepat, kepemimpinan yang visioner, dan respon yang cepat, Indonesia tidak hanya dapat mengatasi gejolak pasar modal.

“Tetapi juga mengubahnya menjadi momentum kebangkitan menuju ekonomi yang lebih tangguh dan kompetitif di kancah global,” kata Listya.

Lebih lanjut, Listya mengatakan IHSG bukan sekadar angka yang bergerak naik-turun di layar perdagangan saham, melainkan refleksi nyata dari kepercayaan publik terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Setiap fluktuasi tajam mencerminkan lebih dari sekadar sentimen investor, tetapi juga barometer ketahanan fundamental ekonomi nasional dalam menghadapi guncangan eksternal dan internal.

Karena itu menurut Listya, respon cepat, tegas, dan kredibel dari pemerintah, regulator, serta pelaku pasar menjadi kunci untuk mencegah krisis kepercayaan yang lebih dalam. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan fiskal dan moneter yang diterapkan mampu menenangkan pasar, bukan justru memperburuk volatilitas.

Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus memperkuat pengawasan di sektor keuangan untuk mencegah risiko sistemik, seperti spekulasi liar, manipulasi pasar, dan insider trading yang merugikan investor. Di sisi lain, pelaku pasar, termasuk investor retail, harus lebih cerdas dalam membaca dinamika ekonomi dan mengelola risiko investasi secara lebih strategis.

“Pada akhirnya, stabilitas IHSG adalah cerminan dari fundamental ekonomi yang sehat, transparansi kebijakan, serta kepercayaan investor terhadap masa depan Indonesia,” ujar dia.

Listya mengatakan, jika krisis ini diabaikan tanpa upaya perbaikan struktural, dampaknya bisa berkepanjangan—mulai dari terkikisnya kepercayaan investor hingga berkurangnya daya saing ekonomi Indonesia di kancah global. Namun, jika dimanfaatkan dengan bijak untuk mereformasi pasar modal, meningkatkan tata kelola perusahaan, dan memperkuat kebijakan ekonomi, maka Indonesia dapat keluar dari tekanan ini dengan fondasi yang lebih kuat dan daya saing yang lebih tinggi.

“Saatnya menjadikan krisis ini bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai batu loncatan menuju masa depan ekonomi Indonesia yang lebih cerah, stabil, dan penuh peluang,” kata dosen di kampus yang terletak di Yogyakarta ini.

Adil Al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |