TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Franz Magnis-Suseno, menyoroti sikap Paus Fransiskus terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ). Franz menilai Paus Fransiskus merupakan pemimpin Katolik yang sangat terbuka dan mengubah wajah Gereja Katolik.
Akademikus kelahiran Jerman itu menyebut bahwa Paus Fransiskus tidak pernah mau menghakimi identitas gender dan orientasi seksual seseorang. Franz menyoroti pernyataan Paus Fransiskus pada 2013 yang terang-terangan membuka diri terhadap kelompok LGBTQ.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jika seseorang gay dan mencari Tuhan, serta memiliki niat baik, siapakah saya untuk menghakiminya?” kata Paus Fransiskus.
“Suatu pernyataan yang luar biasa,” ujar Franz saat ditemui Tempo di Sekolah Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta, pada 24 April 2025.
Rohaniawan yang akrab disapa Romo Magnis itu juga menyoroti sikap Paus Fransiskus yang mendorong agar negara melindungi pasangan LGBT lewat registered partnership atau civil union, yakni hubungan yang diakui secara hukum tetapi bukan perkawinan.
"Dengan demikian pasangan homoseksual bisa bersama ke hotel, bisa hidup bersama, tidak boleh diganggu lagi, dipersekusi RT sampai negara," tutur Franz.
Komentar Franz senada dengan pandangan penulis Jesuit, James Martin, yang memuji langkah Paus sebagai langkah maju bagi Gereja Katolik terhadap kelompok LGBT.
"Hal ini sejalan dengan pendekatan pastoralnya terhadap kaum LGBT, termasuk kaum Katolik LGBT, dan mengirimkan sinyal kuat ke negara-negara di gereja menentang aturan (civil union) semacam itu," ujar Martin dalam unggahan X pada Rabu, 21 Oktober 2020.
Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo, menilai bahwa keterbukaan terhadap kelompok LGBTQ merupakan bentuk konkrit ajaran kasih yang diajarkan Paus Fransiskus.
Bagi Suharyo, Paus Fransiskus ingin menunjukkan bahwa bagaimanapun identitas gender dan orientasi seksual yang dimiliki seseorang berhak mendapat kasih dari Tuhan.
“Manusia dalam keadaan seperti apapun, martabatnya pantas dihormati,” ucap Suharyo saat ditemui Tempo di kompleks Gereja Katedral Jakarta pada Selasa, 22 April 2025.
Suharyo menuturkan bahwa Gereja Katolik di bawah Paus Fransiskus memang memperbolehkan pastor memberkati kelompok LGBT. Namun, dia menegaskan bahwa pernikahan sesama jenis tetap dilarang dalam ajaran Katolik.
Paus Fransiskus wafat pada Senin, 21 April 2025, di kediamannya di Casa Santa Marta, Vatikan. Pada pukul 09.45, Kardinal Kevin Farrell, Camerlengo Kamar Apostolik, mengumumkan wafatnya Paus Fransiskus yang berusia 88 tahun dari Casa Santa Marta.
"Saudara-saudari terkasih, dengan dukacita yang mendalam saya harus mengumumkan wafatnya Bapa Suci kita, Fransiskus. Pada pukul 7.35 pagi ini, Uskup Roma, Fransiskus, kembali ke rumah Bapa. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk melayani Tuhan dan Gereja-Nya," ujar Kardinal Farell dilansir dari situs Vatikan, Senin, 21 April 2025.
Paus bernama asli Jorge Mario Bergoglio itu wafat setelah pulang dari rumah sakit. Ia dirawat di Rumah Sakit Poliklinik Agostino Gemelli pada Jumat, 14 Februari 2025, setelah menderita bronkitis selama beberapa hari.
Situasi klinis Paus Fransiskus berangsur-angsur memburuk. Dokter mendiagnosis Paus Fransiskus terkena pneumonia bilateral pada Selasa, 18 Februari 2025. Setelah 38 hari di rumah sakit, mendiang Paus kembali ke kediamannya di Vatikan di Casa Santa Marta untuk pemulihan.
Dilansir dari CBS News, upacara pemakaman Paus Fransiskus berlangsung di Vatikan pukul 10.00 waktu setempat atau pukul 15.00 waktu Indonesia barat.
Sekitar 250 ribu orang berkumpul di Lapangan Santo Petrus. Adapun sekitar 150.000 orang lainnya berbaris di pinggir jalan rute sepanjang 6 kilometer dari Kota Vatikan melalui Roma menuju tempat peristirahatan terakhirnya.
Ada tepuk tangan ringan dan beberapa orang menangis sambil melambaikan tangan ke arah mobil jenazah. Banyak yang mengangkat telepon genggam mereka, diikuti dengan keheningan.
Semasa hidupnya, Paus Fransiskus menjadi sosok yang banyak memberikan teladan yang tak terbatas bagi umat Katolik, namun juga seluruh umat manusia.
Paus Fransiskus dikenal dengan perjuangannya dan mendukung perdamaian, termasuk genosida di Gaza. Cerita lengkap tentang Paus Fransiskus itu tertuang dalam laporan “Telepon Terakhir Paus Fransiskus ke Jalur Gaza” yang terbit dalam Majalah Tempo edisi 27 April 2025.