TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi lingkungan Greenpeace meminta kepala daerah baru di Jakarta, Bogor, Depok, Tanngerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang baru dilantik untuk segera menyelesaikan lima masalah iklim dan lingkungan.
Juru Kampanye Sosial dan Ekonomi Greenpeace Indonesia Jeanny Sirait menuturkan, masalah-masalah tersebut berdampak signifikan terhadap kenyamanan dan berdampak buruk bagi perekonomian daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Lima masalah iklim dan lingkungan yang harus menjadi fokus bagi para kepala daerah baru di Jabodetabek, yakni polusi udara, banjir dan kekeringan, minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH), kenaikan permukaan air laut, dan perluasan pulau panas perkotaan (urban heat island)," katanya dalam keterangan tertulis, Senin, 24 Februari 2025.
Jeanny menuturkan, polusi udara masih menjadi salah satu masalah utama di Jabodetabek pada 2024. Bahkan pada awal 2024, sebagian wilayah Jabodetabek terindikasi memiliki kualitas udara yang “tidak sehat”..
Salah satu sumber pencemaran udara, kata Jeanny, bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Persoalan yang melibatkan kebijakan antarwilayah ini tidak segera selesai karena nihil koordinasi politik antarpemerintah daerah.
"Padahal, polusi udara diperkirakan mengakibatkan 2.500 kematian prematur dan kerugian sebesar Rp 5,1 triliun per tahun di wilayah Jabodetabek," kata Jeanny.
Polusi udara di Jabodetabek, kata Jeanny, juga berhubungan erat juga dengan minimnya RTH. Fasilitas umum itu di Jakarta hingga 2023 masih mencakup 5,2 persen dari total wilayah kota, sementara Tangerang Selatan hanya memiliki 8,5 persen RTH.
Luasan RTH di kedua kota tersebut, kata Jeanny, masih jauh dari standar ideal sebesar 30 persen. Akibatnya, itu berdampak buruk terhadap kualitas udara, peningkatan suhu, serta memperburuk dampak krisis iklim.
“Tanaman pada RTH dapat membantu penyerapan karbon dioksida. Dan fungsi lahan terbuka hijau dapat meningkatkan wilayah resapan air yang akan sangat membantu pada musim penghujan dan musim kemarau,” tutur Jeanny.
Jeanny menjelaskan, masalah pendukung lainnya adalah pembangunan pesat dan konversi lahan vegetasi menjadi properti yang tidak terencana, dan tidak sesuai dengan daya dukung kota. Ini memperluas lahan gersang dan meningkatkan suhu di wilayah perkotaan.
Di Jabodetabek, kata Jeammy, konversi lahan ini juga telah meluas ke arah kota Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi yang membuat suhu kawasan perkotaan berkisar 3-6 derajat celsius lebih tinggi daripada kawasan perdesaan.
Jeanny menambahkan, krisis iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem membuat wilayah Jabodetabek banjir saat curah hujan tinggi dan kekeringan di musim kemarau panjang. Banjir yang menerjang Jakarta setiap tahun menyebabkan kerugian Rp 2,1 triliun per tahun.
Sementara itu, kata Jeanny, kekeringan yang melanda di kala musim kemarau panjang membuat petani di Bekasi rugi hingga puluhan jutaan rupiah, dan meningkatkan pengeluaran warga menengah ke bawah akibat harus membeli air bersih seharga Rp 5.000 hingga Rp 10.000 per jeriken. Ini menunjukan kerentanan kelompok masyarakat menengah ke bawah di Jabodetabek yang harus mengeluarkan biaya lebih untuk memenuhi kebutuhan dasar, salah satunya air bersih.
Kemudian, kata Jeanny, wilayah yang sebagian besar berada di pesisir, Jabodetabek rentan terhadap kenaikan permukaan air laut yang berpotensi menenggelamkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akibat banjir rob dan abrasi. Kedua fenomena tersebut juga bisa merusak infrastruktur dan mengancam kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar.
Soal permukaan tanah, kata Jeanny, Jakarta terus turun rata-rata 5 sentimeter per tahun. Pesisir Jakarta bahkan tercatat penurunan 7,44 hingga 8,47 sentimeter per tahun.
Wilayah Kepulauan Seribu menghadapi kerentanan lebih buruk akibat kenaikan permukaan air laut. Kenaikan permukaan laut terus mengikis bibir pantai dan menyebabkan abrasi di pinggiran pulau dengan luas lebih dari 42 hektar di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, dan bukan tidak mungkin akan tenggelam dalam beberapa tahun ke depan. “Masalah-masalah ini tentu berdampak pada kerentanan sosial, memperparah kemiskinan, dan memperburuk ketidakadilan sosial dan ekonomi di wilayah Jabodetabek," ujar Jeanny.
Menurut Jeanny, masyarakat miskin, kelompok menengah dan kelompok rentan di wilayah Jabodetabek berpotensi merasakan dampak paling parah, karena keterbatasan kemampuan untuk beradaptasi dan memitigasi krisis iklim. Kepala daerah memiliki peran sentral dalam mengatasi masalah ini untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui ketahanan dan keadilan iklim di perkotaan.