TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Farid Nila Moeloek Society, Nila Moeloek, mengatakan hingga saat ini kesenjangan gender di Indonesia masih ada dan perlu segera diatasi. "Tantangan ini tidak hanya terletak pada skala yang besar, tetapi juga pada bagaimana memastikan setiap perempuan, di mana pun mereka berada, memiliki akses yang sama terhadap kesempatan, kesehatan, dan perlindungan," kata Nila dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada 14 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional 2025, Farid Nila Moeloek (FNM) Society bersama dengan United Nations Population Fund (UNFPA), didukung oleh Takeda, menyelenggarakan Women National Conference yang bertema “Perempuan Sehat dan Berdaya, Menuju Kesetaraan Global” pada 11 Maret 2025. Konferensi ini menjadi upaya kolektif dan kolaborasi lintas sektor yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, LSM dan akademisi bagi peningkatan kesetaraan gender di Indonesia.
Nila berharap forum tersebut bisa memberikan inspirasi bagi masyarakat untuk berkontribusi sesuai bidang dan keahlian masing-masing. "Pemberdayaan perempuan bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau organisasi tertentu—ini adalah tugas kita bersama," katanya melanjutkan.
Menurut Nila, langkah perubahan untuk atasi kesenjangan gender bisa dimulai dari diri sendiri. "Saat kita bergerak, kita membawa perubahan bagi lingkungan kita, komunitas kita, dan pada akhirnya, bagi bangsa ini,” kata Nila Moeloek yang pernah menjadi Menteri Kesehatan pada 2014-2019 ini.
Pemberdayaan perempuan di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa, hampir 50 persen di antaranya adalah perempuan. Jumlah ini mencerminkan potensi luar biasa, tetapi juga menunjukkan bahwa kesenjangan gender yang masih ada perlu segera diatasi.
UNFPA Indonesia Representative Hassan Mohtashami, menjelaskan Hari Perempuan Internasional menjadi momen untuk meneguhkan kembali komitmen terhadap kesetaraan gender. Kesetaraan gender terkait erat dengan kesehatan seksual dan reproduksi dan hak-hak reproduksi: kesehatan, kesejahteraan dan otonomi perempuan bergantung pada layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Dan kesetaraan dan pemberdayaan semua perempuan dan anak perempuan mendorong pembangunan dan memajukan perubahan sosial. Semakin sejahtera perempuan dan anak perempuan, begitu pula dengan keluarga, komunitas, dan dunia secara keseluruhan,” katanya.
Hassan setuju dengan Nila Moeloek. Meskipun telah terjadi banyak kemajuan, tantangan masih ada dalam isu kesetaraan gender. Ketimpangan gender, akses layanan kesehatan yang terbatas, serta kekerasan terhadap perempuan masih menjadi penghalang bagi banyak perempuan untuk mencapai potensi penuh mereka. "Melalui inisiatif seperti Women at the Center Project yang juga dikenal sebagai Perempuan Indonesia Hidup Tanpa Kekerasan (PIHAK), UNFPA terus bekerja untuk memastikan setiap perempuan mendapatkan akses layanan kesehatan reproduksi yang aman dan berkualitas serta bisa menentukan masa depannya sendiri," katanya.
Corporate Strategy Officer & CEO Chief of Staff, Takeda Pharmaceuticals Akiko Amakawa mengatakan di Takeda, keberagaman, kesetaraan, dan inklusi bukan sekadar inisiatif, tetapi telah menjadi bagian dari DNA timnya selama lebih dari 240 tahun, termasuk lebih dari 50 tahun di Indonesia. "Prinsip ini bukan tambahan dalam cara kami beroperasi, tetapi sudah tertanam dalam pengambilan keputusan kami—mengutamakan pasien, membangun kepercayaan, menjaga reputasi, dan menjalankan bisnis dengan nilai-nilai yang kuat," kata Akiko.
Ia bangga 53 persen dari Global Leadership Team di Takeda adalah perempuan. Di Indonesia, lebih dari 60 persen kepemimpinan Takeda dipegang oleh perempuan. Akiko menambahkan bahwa komitmen kesetaraan gender tidak berhenti di internal perusahaan. "Kami percaya bahwa akses kesehatan yang berkelanjutan harus menjadi hak semua orang, dan itulah mengapa kami aktif dalam berbagai area terapi, termasuk onkologi, penyakit langka, penyakit gastrointestinal, kesehatan konsumen, dan dengue," katanya.
Salah satunya melalui dukungan Takeda terhadap Women at the Centre: Rising Up Against the Pandemic of Violence Against Women, yang dibentuk pada 2023 dan akan berlangsung hingga 2026 serta dijalankan di 5 negara yaitu Azerbaijan, El Salvador, Madagaskar, Zimbabwe, dan Indonesia. Di Indonesia sendiri, program ini dijalankan melalui kemitraan dengan UNFPA. "Dengan terus berkolaborasi lintas sektor, kita dapat menciptakan perubahan berkelanjutan yang berdampak bagi perempuan, masyarakat, dan generasi mendatang,” kata Akiko.