IESR Tawarkan Skema Pemanfaatan Bersama Transmisi Listrik untuk EBT

4 hours ago 8

TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Essential Services Reform (IESR) menawarkan skema pemanfaatan bersama jaringan transmisi listrik (power wheeling). Skema ini dinilai dapat mempercepat pembangunan pembangkit energi terbarukan dan memperluas akses investor.

“Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk berubah dan komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan,” kata Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR  Deon Arinaldo dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi XII DPR, Senin, 5 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secara umum, IESR menegaskan bahwa Indonesia tidak kekurangan peluang atau teknologi untuk bertransisi menuju energi bersih. Dia pun memproyeksikan Indonesia berpeluang mencapai target net zero emission lebih cepat dari 2060. Bahkan, jika didukung dengan kebijakan yang kuat dan akselerasi teknologi, transisi energi bersih bisa tercapai pada 2050. 

Menurut Deon, secara teknis dan ekonomis, Indonesia sudah memiliki potensi untuk mempercepat transisi energi. “Kalau melihat dari sisi teknologi dan biaya saat ini, sebenarnya Indonesia bisa mencapai net zero emission lebih cepat, bahkan di 2050,” ujar Deon. 

Namun, ia menekankan bahwa tantangan utamanya bukan lagi teknologi, melainkan kemauan politik dan kesiapan berbagai pemangku kepentingan. IESR telah melakukan kajian sejak 2021 yang menunjukkan kebutuhan investasi untuk mencapai net zero emission pada 2050 berkisar di angka US$ 1,3 triliun.

Deon mengatakan angka tersebut memang besar, tetapi masih bisa dicapai jika Indonesia mampu membuka ruang bagi pelaku investasi dari berbagai sektor. “Yang selama ini hanya menjadi konsumen energi, kini bisa juga menjadi investor,” ujarnya.

Deon juga menyoroti pentingnya pembenahan dalam sistem kelistrikan nasional. Sebab, kata dia, transisi dari pembangkit fosil ke energi terbarukan membutuhkan perubahan besar dalam cara PLN dan aktor energi lainnya beroperasi. Hal ini mencakup penyesuaian dalam manajemen jaringan hingga peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

Selain itu, dia juga mendorong peran aktif badan usaha milik negara (BUMN) lain di luar sektor energi, seperti Pupuk Indonesia, yang dinilai memiliki potensi besar dalam pengembangan energi alternatif seperti hidrogen hijau. “Kita bisa memproduksi energi hijau langsung di lokasi yang membutuhkan, karena potensi sumber daya kita sangat melimpah,” ujarnya.

Berdasarkan kajian IESR, Indonesia memiliki 333 gigawatt (GW) potensi energi terbarukan (EBT) yang layak dan siap dikembangkan. Jumlah ini memang lebih kecil dibandingkan estimasi pemerintah yang mencapai 3.700 GW, namun dinilai lebih realistis karena hanya mencakup wilayah yang dekat dengan jaringan dan gardu induk PLN.

Potensi ini lebih mudah untuk diintegrasikan ke dalam sistem kelistrikan nasional karena lokasinya secara teknis sudah mendekati infrastruktur PLN yang ada. IESR juga telah menyusun model analisis finansial berbasis pendekatan proyek aktual, serta mempertimbangkan regulasi dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 terkait pengadaan dan tarif listrik. 

Berdasarkan kajian tersebut, potensi EBT yang terseleksi menunjukkan tingkat pengembalian investasi (IRR) yang cukup menarik, yakni antara 6,95 hingga lebih dari 20 persen.Dalam pemetaan potensi tersebut, energi angin menjadi kontributor terbesar dengan total 197 GW dan IRR di atas 7 persen. Sementara itu, potensi tenaga surya tercatat sebesar 166 GW dan minihidro sekitar 0,7 GW. Untuk tenaga surya, indikator utama yang digunakan adalah luas dan potensi lokasi serta kelayakan investasinya.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |