Imparsial Minta Pemerintah Revisi UU Peradilan Militer Hindari Impunitas di Tubuh TNI

3 hours ago 7

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Direktur Imparsial Husein Ahmad meminta pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Ia mengatakan selama ini UU Peradilan Militer tersebut berpotensi menimbulkan impunitas terhadap anggota TNI.

"Seperti selama ini menghasilkan impunitas, anggota TNI tidak takut untuk melakukan tindak pidana," ucap Husein saat dihubungi Tempo melalui aplikasi perpesanan pada Jumat, 28 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, impunitas tersebut membuat anggota TNI merasa kebal hukum jika melakukan tindak pidana. Sebab, kata Husein, UU Peradilan Militer mengatur tentang jalannya kehakiman di lingkungan militer jika prajurit tersandung kasus hukum pidana.

Adapun isi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yaitu pengadilan adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan pengadilan Militer Pertempuran.

Pada pasal 1 ayat 4 UU Peradilan Militer berbunyi hakim militer, hakim militer tinggi, hakim militer utama, yang selanjutnya disebut hakim adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan.

Husein menganggap bahwa peradilan militer terlalu lemah dalam memberikan efek jera bagi anggota TNI. Ia mengatakan konsekuensi ini seperti tidak ada pemberian sanksi yang lebih berat jika prajurit militer melakukan tindak pidana.

Husein turut menyoroti sejumlah keputusan hakim pengadilan militer terhadap berbagai kasus yang melibatkan anggota TNI. Menurut dia, selama ini keputusan pengadilan militer tidak memberikan efek jera bagi para prajurit militer yang telah melakukan tindak pidana.

Sementara itu, Husein mengatakan, selama ini kasus penyerangan yang dilakukan anggota TNI selalu bermula dari permasalahan pribadi. Dia mencontohkan insiden penyerangan di Lembaga Pemasyarakatan kelas Cebongan, Sleman, Yogyakarta, yang dilakukan Serda Ucok Tigor Simbolon pada 2013.

Kasus itu merupakan kejadian pembunuhan berencana yang dilakukan Serda Ucok cs. Menurut Husein, tuntutan yang diberikan kepada Serda Ucok cs kala itu tidak memberikan efek jera.

"Membunuh orang, sekarang sudah bebas. Padahal yang diserang institusi negara, yang diserang Lapas loh itu. Terlepas apa motifnya, tetap saja yang dilakukan tindak pidana, yaitu pembunuhan," kata dia.

Selain itu, penyerangan anggota TNI ke Polsek Ciracas, Jakarta Timur, misalnya, yang terjadi pada 2020. Husein mengatakan sanksi yang diberikan kepada para prajurit militer pada insiden Polsek Ciracas juga terlalu lemah.

"Nah itu yang kemudian saya tidak melihat ada keseriusan pimpinan TNI dalam menyelesaikan masalah kalau pun ada sanksi, sanksinya lemah," ujar Husein.

Adapun sanksi yang diberikan kepada 67 anggota TNI pada penyerangan Polsek Ciracas dijatuhi hukuman penjara hingga satu tahun. Beberapa di antaranya juga dipecat. Vonis pemecatan dan penjara itu dijatuhkan hakim Pengadilan Militer II-08 Jakarta.

"Dari 67 orang terdakwa yang sudah diputus perkaranya, 48 orang terdakwa menyatakan menerima, 15 orang terdakwa mengajukan upaya hukum banding dan 4 orang terdakwa menyatakan pikir-pikir," ujar Kepala Pengadilan Militer Utama Mayjen TNI Abdul Rasyid pada 24 Mei 2021.

Kasus terbaru yang melibatkan anggota TNI adalah penyerangan kantor Polres Tarakan, Kalimantan Utara, pada Senin malam, 24 Februari 2025. Puluhan personel TNI diduga mengeroyok anggota Polres Tarakan dan mengakibatkan lima polisi mengalami luka-luka.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |