TEMPO.CO, Jakarta - Kasus suap PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral) yang fenomenal pada 2014 kembali mencuat seiring terbongkarnya dugaan kasus korupsi di PT Pertamina baru-baru ini. Pasalnya, kasus teranyar tersebut turut menyeret nama pengusaha minyak dan gas Muhammad Riza Chalid.
Adapun dalam kasus Petral, nama Riza Chalid sempat disebut dalam audit forensik perusahaan yang dibubarkan pada 2015 lalu itu. Sementara dalam kasus teranyar, yang terlibat adalah anak Riza, Muhammad Kerry Adrianto Riza, yang ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara merugikan negara Rp 193,7 triliun tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar membuka peluang penyidik memeriksa Riza Chalid. Ada kemungkinan keterlibatan pengusaha tersebut dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS) itu.
“Saya kira terbuka saja kemungkinan untuk itu, melihat dari nanti fakta-fakta dalam bukti yang sudah dikumpulkan,” kata Harli Siregar kepada awak media di Kompleks Kejaksaan Agung, Rabu, 26 Februari 2025.
Adapun kasus Petral mencuat pada kurun 2014 setelah Satgas Anti-Mafia Migas pimpinan mendiang Faisal Basri menemukan kejanggalan. Petral pun dibubarkan namun kasusnya tidak kunjung terungkap. Baru pada 2019 ada titik terang setelah penetapan tersangka. Kasusnya kembali tenggelam walau sempat disinggung pada 2024. Sampai kini masih senyap.
Lantas seperti apa sebenarnya duduk perkara kasus Petral ini?
Awal kasus Petral
Sebagaimana diungkapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat penetapan tersangka pada 2019 terhadap Managing Director Pertamina Energy Services Pte. Ltd (PES) periode 2009-2013 Bambang Irianto (BTO), kasus Petral berawal ketika Bambang diangkat menjadi Vice President Marketing Pertamina Energy Service.
Pada 2008, Bambang bertemu dengan perwakilan Kernel Oil Ltd—salah satu rekanan dalam perdagangan minyak mentah dan produk kilang untuk PES/PT Pertamina (Persero). Bambang melakukan pengadaan tender penjualan minyak mentah dan produk kilang untuk kebutuhan Pertamina dan mengundang National Oil Company (NOC), Major Oil Company, Refinery, maupun trader.
Dalam kasus ini, NOC akhirnya menjadi pihak yang mengirimkan kargo untuk PES/PT Pertamina adalah Emirates National Oil Company (ENOC). Diduga, perusahaan ENOC diundang sebagai kamuflase agar seolah-olah PES bekerja sama dengan NOC agar memenuhi syarat pengadaan. Padahal minyak berasal dari Kernel Oil.
Menurut KPK, Bambang selaku VP Marketing PES membantu mengamankan jatah alokasi kargo Kernel Oil dalam tender pengadaan atau penjualan minyak mentah atau produk kilang. Sebagai imbalannya diduga Bambang Irianto menerima sejumlah uang yang diterima melalui rekening bank di luar negeri.
Terungkapnya kasus Petral
Pada awal pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi, pemerintah lalu membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 14 November 2014 lalu menunjuk Faisal Basri sebagai pimpinan tim yang kemudian dikenal sebagai Satgas Anti-Mafia Migas tersebut.
“Mengatasi masalah sistem harus dengan sistem,” kata Sudirman Said, Menteri ESDM saat itu, seperti dikutip Tempo, 16 November 2014.
Pada Desember 2014, Tim Reformasi menemukan kecurangan yang dikenal lalu dengan sebagai skandal Petral dalam pengadaan melalui perusahaan minyak pemerintah asing (NOC). Dengan pola ini, rantai pengadaan minyak terkesan pendek. Kenyataannya, banyak perusahaan minyak nasional yang sebenarnya tak memiliki sumber minyak sendiri.
Kecurigaan muncul saat Maldives NOC Ltd berhasil menang tender pengadaan. Perusahaan ini jelas-jelas tak memiliki sumber minyak. Berdasarkan informasi yang diperoleh Faisal Basri, Maldives NOC beberapa kali digunakan sebagai kedok untuk memenuhi ketentuan pengadaan minyak oleh Petral.
Dalam perkembangannya, hasil audit forensik terhadap Petral menyebutkan terjadi anomali dalam pengadaan minyak pada 2012-2014. Temuan lembaga auditor Kordha Mentha menyebut jaringan mafia minyak dan gas (migas) menguasai kontrak suplai minyak senilai US$ 18 miliar atau sekitar Rp 250 triliun selama tiga tahun.
Berdasarkan keterangan Sudirman Said, ada beberapa perusahaan pemasok minyak mentah dan bahan bakar minyak kepada PT Pertamina melalui Petral pada periode itu. Setelah diaudit, kata Sudirman, semua pemasok berafiliasi pada satu badan yang sama, yang menguasai kontrak US$ 6 miliar per tahun atau sekitar 15 persen dari rata-rata impor minyak tahunan senilai US$ 40 miliar.
“Itu nilai kontrak yang mereka kuasai, bukan keuntungan,” kata Sudirman kepada Tempo, Selasa, 10 November 2015.
Namun, Sudirman enggan membeberkan grup usaha yang ia maksud. Akibat ulah mafia ini, lanjut Sudirman, Pertamina tidak memperoleh harga terbaik dalam pengadaan minyak ataupun jual-beli produk BBM. Sumber Tempo di Kementerian ESDM mengatakan Petral menjadi kepanjangan tangan pihak ketiga untuk masuk proses pengadaan minyak.
“Pihak ketiga ini memiliki informan di tubuh Petral, yang membocorkan informasi pengadaan minyak, memunculkan perhitungan harga serta mengatur tender. Sebelum disampaikan ke peserta tender, si pembocor menyampaikannya dulu ke jaringan tersebut.”
Dugaan keterlibatan Riza Chalid
Riza Chalid menjadi sosok kunci dalam hasil audit forensik Petral pada 2015. Dalam laporan Tempo berjudul “Akun Bersama Mafia Minyak”, audit forensik dari KordaMentha, auditor asal Australia, mengungkapkan modus permainan kotor impor minyak dan gas di sekitar Petral pada 2012-2014.
Salah satu temuan audit forensik itu menyebutkan kebocoran informasi pengadaan minyak mentah dan BBM merembes ke luar perusahaan lewat [email protected]. Melalui grup e-mail inilah semua data rahasia PES, termasuk harga perkiraan sendiri (HPS), dibocorkan ke pihak luar. Akibatnya, Pertamina tidak mendapatkan harga yang kompetitif.
Menurut temuan itu, setidaknya ada lima nama pegawai PES yang tidak kooperatif selama investigasi forensik berlangsung. Pihak luar yang menerima bocoran data itu adalah Global Energy Resources Pte Ltd dan Veritaoil Pte Ltd. Menurut Sudirman Said, Global Energy merupakan perusahaan yang terafiliasi dengan Riza Chalid, importir kakap minyak dan gas.
Penetapan tersangka
KPK kemudian menetapkan tersangka dalam kasus ini pada September 2019 setelah mengklaim melakukan penyelidikan sejak Juni 2014. Terduga pelaku utamanya adalah Bambang Irianto. Bambang diketahui pernah menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina Petral sebelum dilakukan penggantian pada 2015.
“Setelah terpenuhinya bukti permulaan yang cukup, KPK meningkatkan ke penyidikan dalam perkara dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait kegiatan perdagangan minyak mentah dan produk kilang di PES selaku “subsidiary company” PT Pertamina (Persero),” kata Laode M Syarif saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta.
KPK mengungkapkan tersangka Bambang melalui rekening perusahaan SIAM Group Holding Ltd diduga telah menerima uang sekurang-kurangnya 2,9 juta dolar AS atas bantuan yang diberikannya kepada pihak Kernel Oil. Duit suap itu terkait kegiatan perdagangan produk kilang dan minyak mentah kepada PES/PT Pertamina di Singapura dan pengiriman kargo.
Bambang kemudian disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sempat diusut lagi pada 2024
Kasus ini sempat disinggung pada Agustus 2024 seiring Penyidik KPK memeriksa satu orang pejabat Pertamina—Management Acct. Controller Pertamina Agus Sujiyarto— sebagai saksi penyidikan perkara dugaan korupsi Petral tersebut. Sebenarnya yang dipanggil empat orang, tapi tiga lainnya berhalangan hadir. Alasannya sakit maupun telah pensiun.
Terpendamnya kasus Petral membuat publik bertanya-tanya ihwal kinerja lembaga antirasuah. KPK tak menampik jika masih ada kasus yang mengendap penanganannya, salah satunya Petral. Hal itu diakui Wakil Ketua KPK saat itu Nurul Ghufron. Ia menyebutnya, telah memfosil.
“Kasus-kasus yang sudah memfosil termasuk, misalnya kasus Petral dan lain-lain itu,” kata Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat, 1 November 2024.
Dia mengakui ada keterlambatan pada proses penindakan terhadap sejumlah kasus padahal KPK sudah menentukan waktu proses penyelidikannya. Alasannya karena KPK sedang menunggu proses perhitungan kerugian negara apalagi jika itu berhubungan dengan tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri.
Ni Made Sukmasari, Ayu Prima Sandi, Robby Irfany, Fery Firmansyah, Mutia Yuantisya, Raden Putri Alpadillah Ginanjar, Alfitria Nefi P, dan Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.