Jakarta, CNN Indonesia --
Kejaksaan Agung digugat melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) karena tak kunjung mengeksekusi terpidana kasus pencemaran nama baik Silfester Matutina.
Permohonan tersebut dilayangkan oleh Dhen & Partners Advocates and Legal Consultants yang diwakili oleh Heru Nugroho dan R. Dwi Priyono. Gugatan sudah terdaftar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dengan nomor perkara: 847/Pdt.G/2025/PN JKT.SEL.
"Agenda sidang pertama akan berlangsung pada hari Kamis, 28 Agustus 2025," sebagaimana dikutip dari permohonan pemohon, Senin (25/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihak tergugat terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, dan Hakim Pengawas PN Jakarta Selatan.
Dasar hukum pengajuan gugatan adalah perbuatan mana yang seharusnya dilakukan atau dilaksanakan oleh Kejaksaan berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan Pasal 270 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Namun, kasus Silfester yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkrah dengan sengaja tidak dieksekusi atau dilaksanakan.
"Perbuatan yang demikian merupakan perbuatan yang sangat patut diduga sebagai Perbuatan Melawan Hukum," imbuhnya.
Menurut penggugat, fakta tersebut sangat ironi karena PMH dilakukan aparat penegak hukum yang diberi amanat atau wewenang oleh Undang-undang untuk menjalankannya.
Penggugat khawatir jika hal tersebut dibiarkan atau bahkan diterima sebagai sesuatu hal yang biasa, maka akan menjadi preseden buruk atas penegakan hukum di Indonesia.
"Karena di mata hukum, semua warga negara mempunyai kedudukan hukum yang sama equality before the law," kata penggugat.
Pembiaran perbuatan yang telah mencederai hukum dan mengabaikan rasa keadilan dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan hukum, dan dengan sengaja akan memberi kesempatan kepada 'Silfester' lain di kemudian hari.
"Bahwa pembiaran Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan Lembaga Kejaksaan ini juga secara patut dapat diduga dilakukan oleh Hakim Pengawas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," ucap penggugat.
"Mengingat sebagaimana Pasal 277 angka (1) KUHAP berbunyi 'Pada setiap Pengadilan harus ada Hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu Ketua dalam melaksanakan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan Pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan'," pungkasnya.
Sebelum ini, gugatan serupa juga sudah dilayangkan oleh Aliansi Rakyat Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARUKKI). Perkara dengan nomor: 96/Pra.pid/2025/PN Jakarta Selatan itu sudah digelar.
Pada hari ini, Senin (25/8), sidang perdana permohonan tersebut dijadwalkan main. Namun, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan selaku pihak tergugat tidak hadir.
Silfester diproses hukum atas kasus pencemaran nama baik dan fitnah setelah Solihin Kalla yang merupakan anak Jusuf Kalla melaporkannya pada 2017 terkait ucapannya dalam orasi.
Dalam orasi dimaksud, Silfester menuding Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla menggunakan isu SARA untuk memenangkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI Jakarta.
Silfester kemudian dijatuhi vonis 1 tahun penjara pada 30 Juli 2018. Putusan itu dikuatkan di tingkat banding yang dibacakan pada 29 Oktober 2018. Namun, di tingkat kasasi, majelis hakim memperberat hukuman Silfester menjadi 1 tahun dan 6 bulan penjara.
(ryn/gil)