RODRIGO Duterte, presiden ke-16 Filipina, naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 2016 dengan janji untuk memberantas kejahatan, terutama obat-obatan terlarang. Sebagai mantan wali kota Davao yang dikenal sebagai "The Punisher", Duterte menang dengan lebih dari 16 juta suara. Janji kampanyenya memikat warga Filipina, yaitu membunuh para penjahat. Masa kepresidenannya ditandai dengan perang narkoba berdarah yang menyebabkan ribuan orang tewas dan menarik perhatian dunia internasional.
Data pemerintah mencatat setidaknya 6.200 kematian terkait narkoba, namun kelompok-kelompok hak asasi manusia memperkirakan jumlah korban bisa mencapai 20.000 jiwa. Dilansir The Inquirer, pengacara dan calon anggota parlemen dari partai Akbayan, Chel Diokno, mengutip laporan resmi yang menyebutkan 20.322 kematian terkait narkoba sebagai "pencapaian", dengan 3.967 kematian dalam operasi polisi dan 16.355 kematian akibat pembunuhan main hakim sendiri.
Jatuh dari Kejayaan
Selasa, 11 Maret 2025, ditandai sebagai hari kejatuhannya. Ia ditangkap Interpol dan kemudian dikirim ke Den Haag untuk menghadapi pemeriksaan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penangkapan ini menandai perubahan nasib yang menakjubkan bagi keluarga Duterte yang berpengaruh, yang membentuk aliansi yang tangguh dengan Presiden Ferdinand Marcos Jr untuk membantunya memenangkan pemilu 2022 dengan selisih suara yang sangat besar, dengan putri Duterte, Sara Duterte, sebagai wakilnya, Reuters melaporkan.
Namun, keduanya mengalami perselisihan yang pahit, yang berpuncak pada pemakzulan Sara Duterte bulan lalu oleh majelis rendah yang dipimpin oleh para loyalis Marcos, dan sinyal dari presiden bahwa ia akan mematuhi jika surat perintah penangkapan dikeluarkan untuk pendahulunya, setelah sebelumnya bersumpah untuk tidak membantu ICC.
Penyelidikan polisi di Filipina bergerak sangat lamban, menurut pengakuan pemerintah, dan baik Duterte maupun para komandan tinggi kepolisiannya tidak pernah didakwa melakukan kejahatan secara lokal.
ICC pada Selasa mengatakan bahwa Duterte didakwa dengan kejahatan pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan memikul tanggung jawab pidana atas dugaan pembunuhan sedikitnya 43 orang antara tahun 2011 dan 2019.
Surat perintah tersebut mengatakan bahwa para hakim merasa puas bahwa terdapat alasan yang masuk akal untuk menyimpulkan bahwa Duterte adalah kepala dari sebuah regu pembunuh yang beroperasi saat ia menjabat sebagai wali kota Davao City di bagian selatan dan kemudian mengawasi penegakan hukum di Filipina saat ia menjadi presiden.
Leila de Lima, mantan menteri kehakiman yang dipenjara di bawah pemerintahan Duterte, beberapa bulan setelah ia memimpin penyelidikan Senat atas pembunuhan tersebut, mengatakan bahwa keluarga korban memiliki keberanian untuk membawa Duterte ke pengadilan. "Suara Anda sangat berarti, keberanian Anda sangat berarti," katanya.
Peran Perpecahan Duterte - Marcos
Sebelumnya, Marcos berkali-kali menolak membantu penyelidikan ICC dan mengecamnya sebagai ancaman terhadap kedaulatan Filipina. Pada Januari 2024, setelah upaya yang gagal untuk menangguhkan penyelidikan, Marcos menyatakan bahwa ia tetap tidak mendukung ICC dan hanya akan mengizinkan para penyelidiknya memasuki Filipina sebagai pengunjung.
Namun setahun kemudian, sikap Marcos berubah. Pada 24 Januari 2025, seorang pejabat senior dari pemerintahan Filipina menyatakan bahwa mereka akan "merespons dengan baik" penangkapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terhadap Rodrigo Duterte atas perannya dalam kampanye anti-narkoba yang dilakukan antara tahun 2016 dan 2022.
Sebelumnya, pada November 2024, Marcos Jr. mengumumkan bahwa pemerintahannya akan berkewajiban untuk menangkap mantan pemimpin Filipina tersebut jika diminta melalui Interpol atas nama ICC.
Banyak yang menduga perubahan sikap ini adalah karena perpecahan aliansi antara kedua dinasti paling berkuasa di Filipina. Hubungan antara Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr dan pendahulunya Rodrigo Duterte hancur ketika mereka saling menuduh satu sama lain menggunakan narkoba - sebuah keretakan yang dapat mengancam agenda reformasi Marcos dan berisiko memicu ketidakstabilan, awal tahun lalu.
Aliansi antara dua keluarga paling berpengaruh di Filipina yang mengantarkan putra Marcos dan putri Duterte, Sara, ke tampuk kekuasaan pada 2022, telah diperkirakan akan runtuh. Namun, para analis terkejut dengan betapa cepatnya hal itu terjadi. "Ini adalah titik tanpa harapan," kata Jean Encinas-Franco, seorang profesor ilmu politik di University of the Philippines, seperti dikutip Reuters.
Ancaman Pembunuhan
Hubungan kedua keluarga ini kian memburuk ketika Sara Duterte, yang masih menjadi wakil presiden, mengeluarkan ancaman pembunuhan pada November tahun lalu. Duterte, dalam sebuah briefing pagi saat itu, mengatakan bahwa ia telah berbicara dengan seorang pembunuh bayaran dan menginstruksikan mereka untuk membunuh Marcos, istrinya, dan ketua DPR Filipina jika ia dibunuh.
Ancaman yang digambarkan sebagai masalah keamanan nasional ini membawanya ke sebuah sidang pemakzulan. Wakil presiden telah terlibat dalam perselisihan yang sudah berlangsung lama dengan mantan sekutunya, Marcos, dan sebelumnya telah menepis bahwa gerakan melawannya bermotif politik.
Sara Duterte diperkirakan akan bertarung dan memiliki peluang yang kuat. Sebuah survei pada 2023 oleh lembaga jajak pendapat Social Weather Stations menunjukkan bahwa ia adalah pilihan utama untuk menjadi presiden pada 2028. Namun, setelah penangkapan ayahnya, belum jelas apakah rakyat Filipina masih akan mendukungnya sebagai kandidat presiden.