TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda mendesak pemerintah menuntaskan konflik agraria yang melibatkan BUMN. Sebab, ujar dia, saat ini masih banyak konflik agraria melibatkan masyarakat dengan perusahaan pelat merah yang tak kunjung selesai.
Hal itu disampaikan Rifqi merespons pertanyaan ihwal tak tuntasnya target pemerintahan sebelumnya dalam mengatasi konflik agraria dalam 10 tahun terakhir. Menurut Rifqi, pemerintah perlu menuntaskan konflik agraria yang melibatkan BUMN sebelum menuntaskan konflik pertanahan antara sektor swasta dengan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jangan konflik dengan swasta saja yang diselesaikan, tapi rakyat yang berhadapan dengan BUMN kurang bisa diselesaikan,” ujar dia dalam jumpa pers di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 30 Desember 2024.
Politikus Partai Nasdem ini mengatakan, perusahaan milik BUMN yang berkonflik dengan masyarakat seharusnya dapat diselesaikan dengan lebih mudah. Sebab, ujar dia, memalukan bila negara yang ingin menuntaskan sengketa justru tidak mengembalikan hak masyarakat yang diduga dirampas perusahaan BUMN.
Untuk itu, dia akan mendorong hadirnya kembali panitia kerja (Panja) evaluasi pemberian hak pengelolaan yang diberikan kepada perusahaan pelat merah. Pada periode DPR 2019-2024, ujar dia, terdapat Panja yang mengevaluasi Hak Guna Usaha hingga Hak Penggunaan Lahan oleh BUMN.
“Sebab kami mensinyalir selama ini memang ada BUMN yang tanah-tanahnya bermasalah dengan rakyat,” kata dia.
Rifqi mengatakan, Komisi II juga akan menyurati pimpinan DPR agar memanggil menteri BUMN untuk membahas persoalan tersebut. Adapun perusahaan negara yang kerap berkonflik, ujar dia, yakni perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan dan perhutanan.
Dia mengatakan ada juga sejumlah BUMN mengelola lahan cukup luas yang masih bermasalah dalam hal administrasi pertanahan. “Kami akan surati pimpinan DPR dan BUMN yang bermasalah dengan masyarakat akan kami panggil,” ujar dia. “Hal begini saya kira adalah administrasi pertanahan yang akan kita bereskan ke depan.”
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mecatat era pemerintahan Joko Widodo gagal menunaikan janji melaksanakan land reform 9 juta hektar. KPA mencatat dari 851 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) seluas 1,6 juta hektar, hanya 2,46 persen yang berhasil diselesaikan dan diredistribusikan kepada petani.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Sartika mengatakan redistribusi hanya berjalan di wilayah konflik agraria eks HGU swasta. Sementara capaian LPRA untuk tipologi BUMN (PTPN, Perhutani/Inhutani), HTI dan klaim-klaim kawasan hutan tidak satu pun yang berhasil.
“Adapun berdasarkan laporan Kementerian ATR/BPN, Presiden Joko Widodo hanya mampu menertibkan tanah terlantar dari bekas HGU dan HGB seluas 77 ribu hektar dari 7,24 juta hektar tanah yang terindikasi terlantar," kata Dewi dalam siaran pers, Jumat, 25 Oktober 2024.
Menurut Dewi, pemerintahan Jokowi membohongi publik dengan memanipulasi angka capaian reforma agraria dengan capaian-capaian sertifikasi atau Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Padahal sertifikasi adalah tugas harian Kementerian ATR/BPN.
Kebijakan itu, ujar dia, juga tidak menyelesaikan konflik agraria dan mengurai ketimpangan penguasaan tanah. "Kegagalan ini sebenarnya sangat ironis, sebab pemerintah sendiri telah mengatakan bahwa ada 7,24 juta hektar tanah (HGU dan HGB) terindikasi terlantar," kata Dewi.
Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.