TEMPO.CO, Jakarta - Pada 30 Desember 1949, Indonesia mengalami perubahan sejarah, terutama dalam hal identitas kota terbesar di tanah air, Jakarta. Nama Batavia, yang telah digunakan selama lebih dari tiga abad, resmi diubah menjadi Djakarta oleh Menteri Penerangan Republik Indonesia Serikat (RIS) saat itu, Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu.
Batavia: Dari Nama Belanda ke Identitas Kota Kolonial
Nama Batavia pertama kali diperkenalkan oleh Jan Pieterszoon Coen pada 1619, setelah VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) menguasai Jayakarta. Nama ini diambil dari suku Batavier, nenek moyang bangsa Belanda yang berasal dari suku Jermanik yang pernah mendiami daerah sekitar Sungai Rhein.
Batavia tidak hanya menjadi nama kota, tetapi juga diabadikan untuk kapal dagang Belanda. Sebelum resmi menggunakan nama Batavia, Jayakarta, yang terletak di pesisir barat pulau Jawa, menjadi pusat pertempuran sengit antara VOC dan pasukan lokal, termasuk Kesultanan Banten dan Inggris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah pertempuran sengit pada 30 Mei 1619, VOC di bawah pimpinan Coen berhasil menguasai Jayakarta dan mengubahnya menjadi Batavia, simbol kekuasaan kolonial Belanda. Nama Batavia terus digunakan hingga masa pendudukan Jepang pada Perang Dunia II.
Penggantian Nama Batavia oleh Jepang
Pada 1942, ketika Jepang menduduki Indonesia, sebuah kebijakan de-Nederlandisasi diterapkan untuk menghapus pengaruh Belanda. Nama Batavia pun diubah menjadi Djakarta, yang merupakan akronim dari Djajakarta, sebagai bagian dari upaya menggantikan pengaruh kolonial Belanda dengan bahasa dan identitas lokal. Proses ini juga sejalan dengan perayaan Hari Perang Asia Timur Raya pada 8 Desember 1942, yang memperingati kemenangan Jepang di kawasan Asia.
Setelah Jepang menyerah pada 1945 dan Indonesia merdeka, nama Djakarta tetap digunakan. Pada masa awal kemerdekaan, penggantian nama Batavia menjadi Djakarta menjadi sebuah langkah simbolis dalam menegaskan identitas Indonesia yang baru. Pada 30 Desember 1949, Menteri Penerangan RIS Arnold Mononutu mengumumkan bahwa mulai saat itu, sebutan Batavia tidak lagi digunakan, dan Jakarta menjadi nama resmi ibu kota Republik Indonesia. Pengumuman ini menandai babak baru dalam sejarah bangsa Indonesia, mengakhiri jejak kolonial Belanda dan membuka jalan bagi identitas kota yang lebih bebas.
Selain itu, pada 22 Juni 1956, Wali Kota Jakarta Sudiro menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Ulang Tahun Jakarta, memperingati peristiwa bersejarah pada 22 Juni 1527, ketika Fatahillah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Tanggal ini menjadi simbol kebanggaan dan perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kembali kemerdekaannya.
Perubahan nama ini tidak hanya sekadar administratif, tetapi juga mengandung makna yang lebih dalam tentang perjuangan Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu kolonialisme. Nama Jakarta, yang kini kita kenal, terus menjadi simbol dari Ibu Kota Republik Indonesia dan perjalanan panjang bangsa ini menuju kemerdekaan.
Sebagai informasi tambahan, dalam buku Jakartaku, Jakartamu, Jakarta Kita oleh Lasmidjah Hardi (1987), dijelaskan bahwa penggantian nama Batavia menjadi Djakarta bertepatan dengan kebijakan Jepang dalam upaya memodernisasi Indonesia sesuai dengan semangat penjajahan mereka. Namun, setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, nama Jakarta tetap dipertahankan sebagai identitas kota yang baru merdeka.
Rahmat Amin Siregar, Naufal Ridhwan Aly berkontribusi dalam tulisan ini.
Pilihan editor: Menyusuri Sunda Kelapa, Cikal Bakal Kota Jakarta