TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil meminta PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (PT SMART Tbk) menghentikan eksekusi lahan di Perkebunan Padang Halaban, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara terlebih pada bulan Ramadan. "Koalisi masyarakat sipil mengecam keras upaya penggusuran penduduk yang dilakukan oleh PT SMART di Perkebunan Padang Halaban," kata Koalisi Masyarakat Sipil untuk Padang Halaban dalam keterangan resmi, dikutip pada Sabtu, 1 Maret 2025.
Mulanya, penggusuran akan dilakukan sehari sebelum Ramadan atau Jumat, 28 Februari 2025, namun batal. Pada Kamis malam, 27 Februari 2025, perwakilan Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS) mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Malamnya, Komisi tersebut langsung bersurat meminta penundaan penggusuran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sehari kemudian, Pengadilan Negeri Rantau Prapat mengumumkan penundaan eksekusi lahan Padang Halaban lewat surat nomor 555/PAN.PN/W2.U13/HK2.4/II/2025. "Bersama ini, kami beritahukan bahwa pelaksanaan eksekusi tersebut ditunda, dan dijadwalkan kembali pada Kamis, 6 Maret 2025," dikutip dari salinan surat yang diterima Tempo.
Koalisi masyarakat ini menuturkan, warga khususnya yang tergabung dalam Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS) sudah berlangsung sejak lama. Para penduduk yang tersebar di enam desa seluas 3.000-an hektare harus diusir secara paksa pada 1969-1970.
Padahal, mereka telah menempati kawasan tersebut sejak masa penjajahan Jepang. Wilayah itu mulanya area perkebunan sawit dan karet milik perusahaan asal Belanda dan Belgia yang secara perlahan berubah menjadi dusun-dusun dan area pertanian rakyat. "Tapi, pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan lebih berpihak kepada kepentingan kapital daripada kepentingan rakyat malah menerbitkan hak guna usaha (HGU) yang mencakup area pemukiman dan pertanian rakyat di Perkebunan Padang Halaban," ujar Koalisi ini.
Sejak 1970, berbagai upaya mendapatkan keadilan telah dilakukan warga Perkebunan Padang Halaban. Namun, tanah yang diperjuangkan tak kunjung dikembalikan.
Akibat kebuntuan proses, pada 2009, secara kolektif warga dari enam desa Perkebunan Padang Halaban menduduki (reclaiming) area bekas desa mereka. Wilayah yang di-reclaiming itu seluas 83,5 hektare—berkurang dari 3.000-an hektare—yang telah menjadi HGU PT SMART.
Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat pada 2014, putusan Pengadilan Tinggi Medan pada 2015, dan putusan Mahkamah Agung pada 2016 membuat warga Perkebunan Padang Halaban harus digusur. "Mereka menjadi korban pengusiran secara paksa dan kehilangan harapan atas sejarah yang pernah mereka miliki," ujar Koalisi ini.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Padang Halaban menuntut:
1. PT Sinar Mas Agro Resources and Technology menghentikan seluruh proses penggusuran di Perkebunan Padang Halaban, terlebih di bulan Ramadan;
2. Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia menarik mundur pasukan yang sudah diterjunkan di Perkebunan Padang Halaban;
3. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk memberi perlindungan terhadap hak atas lahan warga Padang Halaban serta mencabut izin HGU yang telah diberikan kepada PT SMART; dan
4. Komnas HAM untuk memantau dan menjamin perlindungan HAM kepada warga Perkebunan Padang Halaban.
Tercatat 81 organisasi masyarakat sipil dan 58 orang yang mendukung tuntutan tersebut. Menurut pendamping warga, Reza Muharam, dukungan dan solidaritas akan terus dibuka paling tidak hingga hari penggusuran, 6 Maret 2025.
Head of Corporate Communication Sinar Mas Agribusiness and Food Stephan Sinisuka mengatakan eksekusi lahan Padang Halaban dilakukan pada pekan depan. Ditanya ihwal potensi gesekan dengan warga saat bulan Ramadan, ia tak menjawab secara gamblang. "Kami terus berupaya mencari jalan damai sebagai itikad baik perusahaan untuk menyelesaikan situasi ini," kata Stephan saat dikonfirmasi Tempo, Jumat. Dia menuturkan, pihaknya berupaya meminimalisir segala gangguan dan kendala dari upaya eksekusi berdasarkan putusan pengadilan.