Komisi III DPR Melanjutkan Pembahasan RUU KUHAP Usai Surpres Turun

10 hours ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi III DPR RI segera menggulirkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana disingkat RUU KUHAP. Hal itu setelah menerima Surat Presiden (Surpres) terkait pembahasan revisi undang-undang tersebut pada Kamis, 20 Maret 2025.

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menyatakan bahwa draf final RUU KUHAP siap dibahas setelah Presiden RI, Prabowo Subianto, menandatangani Surpres tersebut. “Draf final Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang akan dibahas segera karena Surpres-nya per hari ini sudah keluar, sudah ditandatangani Presiden Republik Indonesia Pak Prabowo Subianto,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, dilansir dari Antaranews.

Menurutnya, rapat kerja terkait pembahasan RUU KUHAP kemungkinan besar akan dimulai pada masa sidang berikutnya, setelah DPR RI memasuki masa reses pekan depan. Dia menargetkan pembahasan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat mengingat jumlah pasal yang tidak terlalu banyak.

“Jadi paling lama dua kali masa sidang. Kalau bisa satu kali masa sidang besok sudah selesai, kita sudah punya KUHAP yang baru,” tambahnya.

Habiburokhman menilai revisi KUHAP diperlukan guna menyesuaikan dengan perkembangan zaman sejak undang-undang tersebut diundangkan puluhan tahun lalu. Selain itu, revisi ini juga diperlukan agar implementasinya dapat sejalan dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru pada Januari 2026.

RUU KUHAP disebut akan mengandung nilai-nilai restoratif, restitutif, dan rehabilitatif dalam proses peradilan pidana. Dia menekankan bahwa dalam revisi ini, pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) akan semakin diperkuat untuk memastikan sistem peradilan yang lebih berkeadilan bagi semua pihak.

“Kami bikin satu bab khusus restorative justice. Jadi mulai penyidikan, penuntutan, sampai persidangan bisa di-restorative justice-kan,” ujarnya.

Selain itu, RUU ini juga akan mencakup mekanisme pencegahan kekerasan dalam proses hukum, misalnya melalui pemasangan CCTV atau kamera pengawas dalam proses pemeriksaan.

“Dengan adanya kamera pengawas, kita bisa memastikan bahwa tidak ada kekerasan atau tindakan yang melanggar hak asasi manusia dalam proses penyelidikan dan penyidikan,” katanya.

Perubahan Penting dalam RUU KUHAP
RUU KUHAP juga akan memperkuat peran advokat dalam proses peradilan pidana. Selain itu, revisi ini mengatur hak-hak kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan lanjut usia (lansia).

Salah satu perubahan signifikan yang akan digulirkan dalam RUU KUHAP adalah perbaikan syarat penahanan. Dengan aturan baru ini, penahanan terhadap seseorang sebelum proses persidangan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang.

Meski terdapat berbagai perubahan signifikan, Habiburokhman menegaskan bahwa RUU KUHAP tidak akan mengubah kewenangan aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

“Jadi polisi tetap penyidik utama, dan jaksa tetap sebagai penuntut tunggal. Tidak ada perubahan dalam struktur kewenangan aparat penegak hukum,” jelasnya.

Dalam proses pembahasan RUU ini, Komisi III DPR akan membuka ruang partisipasi publik agar masyarakat dapat turut memberikan masukan dan pandangan terhadap draf yang disusun.

“Kami libatkan nanti ya, kami minta juga sumbang saran pikirannya terkait KUHAP ini,” kata Habiburokhman.

Pernyataan Menko Kumham Imipas
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa KUHAP yang baru akan menjamin hak asasi manusia sesuai dengan amanat UUD NRI Tahun 1945.

“Saya berkeyakinan bahwa KUHAP baru kita ini akan mengekspresikan amandemen UUD NRI Tahun 1945 tentang hak asasi manusia,” ucap Yusril saat ditemui di Kantor Kemenko Kumham Imipas, Jakarta, Kamis.

Menurutnya, salah satu bentuk penjaminan hak asasi manusia dalam KUHAP yang baru adalah pembatasan status tersangka maksimal dua tahun. Jika dalam kurun waktu tersebut penyidik tidak dapat mengumpulkan cukup bukti, maka status tersangka harus dicabut.

“Jadi kalau penyidik menyatakan seseorang melakukan kejahatan, dua tahun dia kumpulkan alat bukti tetapi tidak kunjung dapat, maka orang itu harus dilepaskan,” jelas Yusril.

Dia menilai bahwa status tersangka yang berlarut-larut tanpa kejelasan dapat menciptakan beban moral yang berat bagi individu yang bersangkutan. Namun, KUHAP yang lama belum mengatur secara tegas mengenai batas waktu status tersangka jika kasusnya tidak kunjung disidangkan.

Dengan adanya aturan baru ini, KUHAP diharapkan tidak hanya menjamin hak asasi manusia, tetapi juga memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.

Diketahui bahwa Rapat Paripurna Ke-13 DPR RI Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024–2025 telah menyetujui RUU KUHAP sebagai RUU usul inisiatif DPR RI. RUU ini juga telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 yang diusulkan oleh Komisi III DPR RI.

Pilihan editor: Anggota Komisi III Pastikan Pembahasan RUU Polri akan Berlangsung Terbuka

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |