TEMPO.CO, Jakarta - Di era digital saat ini, penggunaan perangkat digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Sebuah laporan State of Mobile dari Data.AI pada tahun 2024 menunjukkan bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan 5,7 jam per hari menggunakan gadget, menjadikan Indonesia sebagai pengguna perangkat digital terlama di dunia. Namun, tingginya intensitas penggunaan gadget ini memunculkan kekhawatiran baru, salah satunya adalah fenomena yang disebut brain tot.
Apa Itu Brain Rot?
Istilah brain rot atau "pembusukan otak" sebenarnya bukanlah hal baru. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Henry David Thoreau pada 1854 dalam bukunya Walden untuk mengkritik masyarakat yang lebih memilih hal-hal dangkal dan menghindari pemikiran mendalam. Kini, istilah tersebut kembali populer di era digital dan bahkan dinobatkan sebagai kata terpopuler oleh Oxford setelah melalui voting publik.
Dalam konteks modern, Brain Rot merujuk pada kondisi penurunan mental akibat konsumsi konten berkualitas rendah atau "receh" secara berlebihan di dunia maya. Konten-konten singkat, dangkal, sensasional, dan seringkali tidak valid yang mendominasi platform seperti TikTok, berkontribusi pada terbentuknya kondisi ini. Akibatnya, otak menjadi terbiasa dengan stimulasi instan dan kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan mendalam.
Penggunaan gadget yang berlebihan, menurut Laurie Ann Manwell, seorang Psikolog di Kanada, dapat berdampak negatif pada berbagai aspek kognitif dan emosional, seperti perhatian, konsentrasi, pembelajaran, memori, pengaturan emosi, dan fungsi sosial. Hal ini diperparah dengan pola konsumsi konten online yang cenderung didominasi oleh konten-konten berkualitas rendah.
Brain rot tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga berpotensi merusak fungsi otak secara menyeluruh, yang dapat menyebabkan gangguan kognitif dan emosional, serta menurunkan produktivitas dan kualitas hidup seseorang.
Dampak negatif yang mungkin timbul antara lain penurunan kemampuan kognitif, yang mencakup kesulitan memproses informasi kompleks, berkurangnya daya analisis, kemampuan memecahkan masalah, dan kreativitas. Selain itu, brain rot juga dapat mengganggu regulasi emosi, sehingga seseorang menjadi lebih rentan terhadap kecemasan, depresi, atau bahkan perilaku agresif.
Konsumsi konten berkualitas rendah secara berlebihan juga dapat memicu ketergantungan pada dopamin instan, menciptakan efek adiksi dan menurunkan motivasi untuk mencari kegiatan atau pengalaman yang lebih bermakna. Bagi anak-anak dan remaja, brain rot dapat mengganggu perkembangan sosial mereka, menyulitkan pembentukan identitas diri, dan menurunkan kemampuan belajar.
Beberapa gejala yang perlu diwaspadai sebagai indikasi brain rot antara lain kesulitan berkonsentrasi, disorientasi mental atau kebingungan, gangguan memori, penurunan perhatian terhadap perawatan diri, perubahan emosi yang labil, kesulitan bersosialisasi, dan melemahnya kemampuan pengambilan keputusan.
Anak-anak dan remaja sangat rentan terhadap efek negatif brain rot. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak usia 8 hingga 12 tahun rata-rata menghabiskan 4 hingga 6 jam sehari di depan layar, sementara remaja bahkan lebih dari 7 jam. Paparan terhadap media dengan tempo yang cepat dapat menyebabkan kesulitan berkonsentrasi, penurunan prestasi akademik, ketidakstabilan emosional, dan masalah kesehatan fisik.
Untuk mengatasi masalah brain rot, dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Orang tua berperan penting dalam memantau dan membatasi durasi penggunaan perangkat digital pada anak, serta mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat.
Selain itu, pendidikan literasi digital perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah agar anak-anak memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih konten yang positif. Pemerintah dan perusahaan teknologi juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan ketersediaan konten daring yang berkualitas dan sesuai dengan usia pengguna.
Penggunaan media digital yang aktif, seperti aplikasi dan permainan yang merangsang kreativitas dan kemampuan memecahkan masalah, harus lebih diutamakan daripada sekadar hiburan pasif. Terakhir, penting untuk menyediakan dukungan kesehatan mental, terutama program intervensi dini bagi anak-anak yang menunjukkan gejala tekanan emosional atau ketergantungan terhadap media digital.
Pilihan Editor: Mengenal Brain Rot yang Menjadi Word of the Year 2024 Verzi Oxford University