Krisis Partai Oposisi di RUU TNI dan Perlawanan Masyarakat Sipil

16 hours ago 14

Jakarta, CNN Indonesia --

Pembahasan Revisi UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 terus dilanjutkan DPR dan pemerintah di tengah kritik publik. Sejumlah perubahan pasal dalam RUU TNI disorot, dinilai bakal menghidupkan kembali dwifungsi TNI seperti di era Orde Baru (Orba).

Menurut DPR dan pemerintah, hanya ada tiga pasal yang diubah dalam RUU TNI, yakni Pasal 3, Pasal 53, dan Pasal 47. Pasal itu berkaitan dengan kedudukan Kementerian Pertahanan, lingkup baru tempat TNI aktif boleh bertugas, dan soal usia prajurit.

DPR dan pemerintah pun kompak membantah RUU TNI tidak akan mengembalikan dwifungsi prajurit. Namun, koalisi masyarakat sipil meragukan klaim tersebut. Terlebih, pembahasan RUU TNI dinilai dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak transparan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penilaian koalisi sipil tentang RUU TNI akan membangkitkan kembali dwifungsi prajurit bukan tanpa alasan. Sebab, ada tambahan lima pos kementerian/lembaga yang kini bisa diisi prajurit aktif.

Selain itu, pada Jumat (14/3) dan Sabtu (15/3), Panja RUU TNI dan pemerintah membahas RUU TNI secara tertutup di Hotel Fairmont, Jakarta.

Hal menarik, meski memantik kontroversi luas, sejauh ini tidak ada satu pun fraksi partai di parlemen yang menolak atau bahkan sekadar mengkritik RUU TNI.

PDIP dan Demokrat yang diharapkan bersuara kritis nyatanya tak bicara banyak. Bahkan, Ketua Panja RUU TNI adalah Utut Adianto yang merupakan politikus PDIP.

PDIP diharapkan menolak karena selama ini dianggap menjadi oposisi setelah kalah pada Pilpres 2024.

PDIP juga dianggap sebagai partai yang mendukung supremasi sipil dan berperan dalam menghapus Dwifungsi ABRI Orde Baru. Namun, di parlemen, tak ada satu pun suara kritis keluar dari partai.

Sementara itu, Demokrat juga diharapkan menolak sebab selama ini Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selalu menyatakan penolakan terhadap prajurit aktif yang masuk ke dalam pemerintahan. SBY konsisten mengatakan prajurit aktif harus mundur dari TNI jika ingin menduduki jabatan sipil.

Nihil oposisi

Pengamat Politik Universitas Andalas Asrinaldi menduga ketiadaan oposisi dalam pembahasan RUU TNI terjadi lantaran parpol tidak berani menerima konsekuensi jika berlawanan dengan pemerintah.

"Partai politik kita ini kan tidak tahan berada di luar pemerintahan, sehingga dia ya ikut-ikut saja, nanti di akhir-akhir kalau seandainya keluar baru dia nyesal," kata Asrinaldi kepada CNNIndonesia.com, Selasa (18/3).

Dia menilai sikap Demokrat mendukung RUU TNI karena pandangan SBY tak sepenuhnya bisa dijalankan anaknya, Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono.

Terlebih, kata dia, Demokrat juga menjadi koalisi pemerintahan yang sudah mendukung Presiden Prabowo Subianto sejak Pilpres 2024.

"SBY itu berbeda dengan AHY, walaupun dia ketua majelis tinggi tapi tetap saja kalau seandainya Demokrat menjadi bagian pemerintahan ya tentu dia tidak akan berani untuk vokal karena ini agendanya area pemerintahan berkuasa," ucap Asrinaldi.

"Kecuali demokrat berani untuk mengatakan sikapnya dan kalau dia keluar dari koalisi itu baru sikap yang kita harapkan," sambungnya.

Senada, Direktur Trias Politika Agung Baskoro menilai wajar jika PDIP tidak menolak pembahasan RUU TNI.

Agung berpendapat PDIP sengaja membedakan sikap antara DPP PDIP yang menggaungkan perlawanan dengan sikap Fraksi PDIP yang memberikan dukungan sebagai mitra strategis.

"Inilah yang akan terus diorkestrasi oleh PDP untuk menjaga posisi tawarnya termasuk dalam konteks pembahasan Revisi Undang-undang TNI ya, yang berjalan mulus tanpa ada hambatan apapun," kata Agung.

Lebih lanjut, Agung menilai sikap SBY yang seakan-akan berseberangan dengan Fraksi Demokrat dalam RUU TNI ini juga bukan tanpa sebab. Ia menilai Demokrat tidak ingin gegabah dengan langsung menyampaikan penolakan terhadap pembahasan RUU TNI.

"Jadi saya melihat demokrat mencermati isu ini dengan cukup hati-hati sehingga tidak membuat relasi mereka dengan pemerintah ataupun koalisi Indonesia Maju Plus yang mereka menjadi anggota menjadi kurang solid ya," ujar dia.

Opsi perlawanan dua babak

Tanpa oposisi di parlemen, harapan untuk mengawal pembahasan RUU TNI secara kritis kini bertumpu di masyarakat sipil,

Agung dan Asrinaldi sama-sama menilai koalisi masyarakat sipil masih memiliki dua kesempatan untuk mengawal bahkan menolak RUU TNI. Asrinaldi menilai penolakan sebelum RUU TNI disahkan dapat dilakukan dengan menggelar demonstrasi.

Ia menilai upaya tersebut dapat menjadi cara yang efektif untuk menolak RUU TNI. Apalagi jika demonstrasi penolakan tersebut diikuti oleh ribuan masyarakat.

Asrinaldi menyinggung cara tersebut pernah berhasil ketika masyarakat sipil menggelar demonstrasi agar DPR mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan pilkada.

"Kalau seandainya massanya banyak sama halnya dengan undang-undang pilkada RUU Pilkada itu, ya akhirnya kan dihentikan dan itu pun sangat bergantung kepada perintah eksekutif dalam hal ini Presiden Prabowo karena beliau punya agenda terkait dengan ini," jelas dia.

Selain itu, Agung menilai upaya penolakan lain bisa dilakukan jika demonstrasi tidak didengar DPR. Upaya penolakan tersebut dapat ditempuh dengan melakukan judicial review (JR) ke MK.

"Kalau memang mentok, kita bawa revisi itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji materi ya dan itu lebih produktif saya kira agar aturan yang tidak kita inginkan bisa kembali seperti semua," tutur dia.

(mab/tsa)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |