TEMPO.CO, Yogyakarta - Ratusan mahasiswa dan aktivis yang tergabung dalam aksi Jogja Memanggil kembali turun ke jalan, Kamis, 27 Maret 2025. Aksi mereka kali ini mengusung tajuk 'Negara Sedang Gawat, Bangun Solidaritas Rakyat'.
Dari pantauan Tempo, massa memadati kawasan Titik Nol Kilometer, persisnya ruang pedestrian yang berdempet dinding timur Istana Gedung Agung Yogyakarta. Massa mengenakan pakaian serba hitam dan membawa mobil komando. Bahkan massa aksi turut membawa perangkat sound untuk mendukung panggung seni yang mereka buat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan spanduk dan poster berisi penolakan atas revisi UU TNI yang baru saja disahkan DPR menghiasi aksi itu. Seperti spanduk 'Kembalikan TNI ke Barak', 'Lawan Militerisme', dan lainnya.
Juru bicara aksi itu Bung Koes mengatakan kehidupan masyarakat sipil terancam setelah DPR mengesahkan Revisi UU TNI pada 20 Maret 2025. "Produk hukum ini mengaktifkan kembali semangat dwifungsi ABRI/TNI, yang seharusnya dikubur dalam-dalam dengan lengsernya Soeharto pada 1998," kata dia.
Menurut massa aksi, saat ini, TNI bisa duduk di jabatan sipil dan berkuasa atas rakyat. Keleluasaan tentara dapat mengulangi kejahatan masa lalu, mulai teror pembunuhan massal dan pemenjaraan massal tiga juta anggota PKI dan orang-orang yang dituduh PKI, peristiwa Balibo, Santa Cruz, Talangsari, Kedung Ombo, penculikan dan pembunuhan aktivis 1998, pemerkosaan perempuan Tionghoa, tentara masuk kampus, hingga tentara berpolitik praktis.
"Kekhawatiran rakyat menjadi kenyataan. Di Jakarta, hari pertama disahkannya Revisi UU TNI, aparat langsung menggunakan kekerasan, warga non-demonstran, tak luput dari brutalitas polisi," kata Bung Koes.
Di Yogyakarta, akhir pekan lalu, saat aksi akibat revisi UU TNI, massa aksi damai di gedung DPRD dipaksa membubarkan diri dengan water cannon. "Tak hanya itu, seratusan massa ormas membawa sajam melakukan teror terhadap massa aksi damai hingga hampir bentrok. Beberapa massa aksi perempuan juga mengalami kekerasan oleh gabungan polisi-ormas," kata dia.
Eskalasi kekerasan pasca UU TNI itu disahkan, setiap harinya semakin memuncak. Di Bandung, kata Koes, negara kembali menggunakan tameng ormas untuk melegitimasi kekerasan. Penyerangan menggunakan senjata tajam, balok kayu, hingga tembakan mercon.
"Ormas adalah cara paling kotor negara untuk menindas rakyat," kata Koes. Ia mengutip jumlah korban di Bandung setidaknya 25 orang masa aksi yg dilaporkan menjadi korban kekerasan.
Aparat juga menggandeng ormas untuk melakukan kekerasan terhadap massa aksi. Tercatat tiga pelajar tak jauh dari lokasi aksi dikeroyok, dipukuli, telinganya digigit, dipermalukan oleh ormas lalu dipaksa mengaku sebagai massa aksi. Dua diantaranya ditangkap, sau lainnya dirawat medis.
Massa aksi juga di-sweeping oleh intel dan ormas hingga dini hari. Bukan hanya kekerasan fisik namun perusakan material pun dilakukan, motor milik massa aksi dirusak dan dibakar. Keesokannya aparat melakukan sweeping hingga ke rumah-rumah warga sipil.
Koes juga menyinggung aparat di Malang melakukan brutalitas tanpa pandang bulu pada sektor yang seharusnya terlindungi hukum. Enam orang pers mahasiswa dikejar, dikeroyok, dan dipukuli. Safe zone medis diserang puluhan aparat gabungan tanpa ampun. Tenaga medis jalanan dikepung dan diserang.
Petugaa medis perempuan bahkan mendapatkan serangan-serangan kekerasan seksual verbal oleh aparat. Massa aksi yang luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit pun tetap didatangi hingga ke bilik perawatan di rumah sakit. "Bahkan, seorang ibu-ibu pemulung yang berada di dekat lokasi aksi pun tak dikecualikan untuk menjadi korban brutalitas aparat," kata dia.
Kekhawatiran rakyat atas Revisi UU TNI, kata dia, kian menjadi kenyataan. Rakyat mengalami kekerasan di ruang digital dalam berbagai bentuk. Adanya doxing atau penyebaran informasi tanpa konsensual dan penyebaran informasi palsu. Foto rakyat disebar melalui media sosial dan dicetak di sebuah banner besar oleh orang-orang yang diduga anggota militer. "Kemudian dalam foto tersebut, terdapat narasi tuduhan, kekerasan, hingga ancaman pembunuhan," ucap Bung Koes.
Setelahnya terdapat spam notifikasi pada media sosial; mulai dari spam chat dan spam telepon oleh nomor yang tidak dikenal di WhatsApp hingga banyak akun Instagram yang diduga milik anggota militer mengikuti akun instagram personal massa aksi. Selain itu, terdapat p upaya percobaan peretasan dan pembobolan pada akun-akun media sosial personal massa aksi.
Di samping kekerasan yang dialami massa aksi, satu hari sebelum disahkannya Revisi UU TNI, jurnalis Tempo mendapat paket berisi kepala babi. Pengiriman tersebut diduga kuat untuk menebar teror atas kerja-kerja jurnalistik yang independen dari kekuasaan dan sedang membuat liputan intensif udang di balik batu Revisi UU TNI.
Saat jurnalis menanyai Hasan Nasbi–Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan–atas teror potongan kepala babi, responsnya malah mengejek rakyat. Hasan mengatakan potongan kepala babi itu lebih baik dimasak saja. Hal ini juga patut diduga lingkaran istana yang menebar teror potongan kepala babi itu.
"Setelah Revisi UU TNI disahkan dengan cara yang culas dan setelah Hasan melontarkan ejekannya atas teror kepala babi, jurnalis Tempo kembali mendapatkan pengiriman paket yang tidak jelas asal-usulnya berisi enam bangkai tikus dengan kepala terpotong," kata Bung Koes.
Bung Koes mengatakan, dari serangkaian kekerasan dan teror yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat, pihaknya menyerukan negara sedang gawat sehingga perlu membangun solidaritas rakyat
“Berdasarkan Pasal 7A UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden dapat dimakzulkan dari jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela.” ujar Marsinah, koordinator aksi lainnya.
Ia menambahkan pemerintahan Prabowo-Gibran telah memenuhi syarat untuk dimakzulkan. Apalagi dengan rentetan teror yang dilakukan rezim Prabowo-Gibran. "Prabowo sendiri telah melakukan tindak pidana berat dengan menculik dan membunuh aktivis 1998 dan belum diadili hingga sekarang," kata dia.