MBG: Restoran Saja Ukur Diri

1 hour ago 7
Para pelajar mendapat perawatan medis, diduga usai keracunan menu MBG. Para pelajar mendapat perawatan medis, diduga usai keracunan menu MBG.

Membayangkan, moralitas pejabat seperti di luar negeri: tak hanya meminta maaf, tapi juga secara kstaria mengundurkan diri. Mengakui kegagalannya, apalagi sudah jatuh ribuan korban.

Kasus keracunan Makan Bergizi Gratis- MBG, belum selesai. Usai Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), merilis laporan sampai Senin 21 September 2025, tercatat ada 6.452 kasus keracunan usai menyantap menu Makan Begizi Gratis- MBG.

Tak selesai. Keracunan masih terjadi lagi. Sebanyak 1.000 lebih siswa di Cipongkor dan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat juga mengalami keracunan akibat mengkonsumsi MBG. Mereka mengalami gejala muntah, mual, kejang hingga pusing.

Keracunan juga terjadi di sejumlah daerah lain di Jawa Barat. Pekan ini, keracunan terjadi di wilayah Sumedang, Subang, Cianjur hingga Kabupaten Sukabumi. Begitu laporan Republika, Jumat (26/1/2025). Kenapa MBG begitu sulit untuk dihentikan sementara? Sampai berapa lagi jatuh korban keracunan?

Di Bandung Barat ratusan ambulans mondar-mandir seperti hilir mudik perang. Videonya viral. Ada orangtua korban, yang anaknya dua kali keracunan MBG. Orangtua siswa khawatir dan mendesak hentikan program ini. Berangkat sekolah anaknya sehat, usai dapat MBG justru dibawa ke rumah sakit.

MBG di SD Tanggamus, menunya ada ulat. Guru SDN 1 Karang Agung menolak membagikan MBG ke siswa mereka. Di Sanggau, keracunan MBG juga terjadi. Wakil Bupati Sambas Susana Herpena mengungkap dampak keracunan menimbulkan trauma siswa, guru dan orangtua. Ia minta MBG dievaluasi.

Sekolah di Pamekasan menolak MBG dan memilih membuat dapur sendiri dengan iuran, jika ada orangtua yang kesulitan diberi subsidi. Mereka menegaskan ada anak yang alergi makanan tertentu, dengan pengelolaan mandiri di sekolah, makanan bisa disesuaikan kebutuhan siswa.

Di Garut, SPPG atau dapur MBG di Rancasalak-Kadungora, Kampung Cilageni , Desa Karangmulya, masih beroperasi melayani menu MBG meski ke sekolah-sekolah yang siswanya pernah mengalami keracunan massal di Kadungora.

Mereka hanya mengganti menu dengan makanan kering. Tak ada sanksi, tak ada yang bertanggung jawab, tak ada tersangka, justru tetap beroperasi. Sekadar mengganti menu. Tata kelola apa seperti ini?

Siapa Bertanggung Jawab?

Silakan kita bandingkan dengan kasus keracunan non-MBG sebelum-sebelumnya. Semisal keracunan saat hajatan, pihak katering, wedding organizer dan keluarga diperiksa. Dilakukan penyidikan, ada tersangka. Kasusnya menimpa puluhan orang yang keracunan. Dalam kasus MBG, ribuan orang.

Tapi, tak ada tersangka, tak ada pejabat teras dan pengawas yang diperiksa, tak ada yang dipecat, tak pula mengundurkan diri. Selain itu tak ada pencabutan izin yayasan, SPPG tak juga ditutup secara permanen. Penghentian dapur MBG atau SPPG hanya dilakukan di Bandung. Itupun sementara.

Kenapa ada perbedaan perlakuan hukum kasus keracunan MBG dan keracunan non-MBG? Padahal sama-sama ada kelalaian. Kasus keracunan MBG bahkan korbannya jauh lebih besar.

Bupati Bandung Barat Jeje Ritchie Ismail memastikan tiga dapur SPPG di Kecamatan Cipongkor dan Cihampelas dihentikan sementara. Di sana sudah ditetapkan KLB, hanya tiga hari, nyaris seribu siswa keracunan. Penghentian hanya sementara, itupun saat sudah ditetapkan status kejadian luar biasa.

Di SMP Negeri 1 Kragan Rembang, Jateng keracunan juga terjadi menimpa 187 siswa. Awalnya Rabu (24/9/2025) 173 siswa yang mengalami keracunan. Esoknya, pada Kamis (25/9) jumlahnya bertambah menjadi 187 anak. Sebanyak 14 anak harus rawat inap.

Mereka mendapat menu MBG berupa mie ayam, kata seorang siswi, mienya serasa belum matang. Usai makan, malam harinya ia merasa mual-mual, diare, lemas. Bolak balik ke kamar mandi. Gejala itu sama dengan teman-temannya yang juga dibawa ke Puskesmas.

Di tempat lain, ada seorang ibu menjemput anaknya, yang saat itu ada pembagian MBG. Ia menemukan menu terdiri dari tempe, acar timun dan nasi yang keras. “Katanya empat sehat lima sempurna, ini empat sehatnya hilang, apalagi sempurnanya, enggak ada. Tempenya dibuang anak-anak,” ujarnya.

Pada 24 September 2025, lima siswa SDN 1 Simpang Hilir Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat juga keracunan MBG. Mereka mengalami mula, muntah, pusing dan sakit perut. Dinas kesehatan setempat menduga menu puding yang jadi penyebabnya.

Kordinator JPPI, Abdullah Ubaid, bahkan mengungkap fakta mengejutkan saat rapat dengan DPR, yang disiarkan Tv Parlemen.

Katanya, “Guru jadi budak tumbal racun MBG. Jadi guru tidak dilibatkan sama sekali. Tiba-tiba kedatangan menu makanan yang banyak, guru suruh menghitung nampannya ada berapa, rantangnya ada berapa.”

“Lalu disuruh distribusikan. Kalau ada yang hilang, disuruh ganti guru atau sekolahnya. Guru juga tak ada insentif apapun dari MBG atau BGN (Badan Gizi Nasional) untuk menjadi budak MBG ini,” imbuhnya.

“Kemudian kalau ada keracunan di beberapa sekolah, itu teken MoU dengan SPPG yang tanggung jawab adalah sekolah. Bahkan ada yang viral juga ternyata di madrasah ada banyak kasus, yang tanggung jawab bukan SPPG, bukan sekolah tapi orangtua,” ungkap Ubaid.

Seperti pada Ahad (14/9), diwartakan Radar Solo, di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Wonogiri, puluhan murid dan guru mengalami keracunan MBG juga. Bahkan ada orangtua yang mencicip makanan itu, ikut menjadi korban keracunan. Di SMAN 2 Wonogiri, ratusan siswa mengalami kondisi serupa.

Di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, ada 200 siswa dari SD, SMP dan SMA Kecamatan Tinangkung juga keracunan usai menyantap ikan cakalang, menu dari MBG. Ada siswa yang kejang-kejang, sesak nafas dan nyaris meregang nyawa. Mereka dilarikan ke RS Trikora Salakan.

Menukil data yang dirilis Kepala Staf Presiden Muhamad Qodari, per 22 September 2025, mencatat ada sekitar 8.549 dapur tak punya SLHS atau Sertifikat Laik Higien dan Sanitasi yang harus dimiliki SPPG. Dari jumlah itu hanya 34 SPPG yang memiliki SLHS.

Selain itu, dari 1.379 SPPG, hanya 423 yang punya prosedur operasi standar (SOP) keamanan pangan. Dari 423, hanya 312 yang menerapkan SOP terkait. Ini jelas kelalaian dan kendornya pengawasan. Anehnya, tak ada satupun pejabat yang mundur atau dipecat. Tak ada juga yang dipenjara karena kelalaian.

Satu SPPG Ribuan Porsi

Satu SPPG retata melayani 2.000-3.000 porsi menu MBG, setiap hari. Dengan sumber daya manusia tak berpengalaman. Alat dapur, tempat makan dan sejenisnya belum punya SNI.

Anehnya, penyesuaian SNI dan sertifikatnya menyusul. Ini tidak akan berlaku pada sistem pengelolaan swasta atau pelayanan non-MBG. Semua izin dan standar yang ditentukan, harus lengkap dulu.

Kalau belum lengkap, lalu beroperasi, bisa-bisa bakal tersandung hukum. Dicabut izinnya atau bahkan ditangkap. Tapi tidak untuk MBG. Kenapa ada perlakuan berbeda? Standar pengelolaan dan pengawasan MBG sangat jelas tidak siap, konsepnya tidak matang. Lalu cenderung relatif aman sandungan hukum.

Ibaratnya yang penting MBG bisa jalan dulu. Bukan disiapkan, dihitung risiko-risikonya, dibuat mitigasinya, dibuat alternatif rencana lain: plan B, C dan seterusnya. Dibuat penanganan kasus dan model evaluasinya.

Adanya SPPG yang masih tetap diizinkan melayani kembali tanpa sanksi, padahal sudah membuat kasus keracunan, menjadi potret betapa buruknya perencanaan, pengawasan dan pengelolaan MBG. Apakah jika proyek ini berhenti sementara, akan ada pihak yang takut cuannya berkurang?

Jelas-jelas ribuan kasus keracunan, tapi belum ada instruksi penghentian sementara dan perubahan skema. Masih tetap menggunakan skema lama, yang dikritik habis-habisan oleh banyak ahli dan publik. Bahkan orangtua dan siswa sudah banyak yang mengalami trauma.

Pemenuhan Gizi atau Proyek Bancakan?

Apakah MBG benar-benar untuk pemenuhan gizi atau sekadar bagi-bagi proyek bancakan?

Pak Presiden Prabowo, mohon cukup, korban sudah terlalu banyak. Hentikan dulu sementara. Evaluasi total. Jangan paksakan berjalan tanpa perubahan skema. Sudah banyak mudaratnya.

Apakah sekadar mengejar validasi internasional dengan tetap memaksakan skema yang jelas bermasalah? Mohon pertimbangkan lagi skema ini. Ubah pola, ubah skema.

Konsumsi anggaran MBG ini pun laiknya sel kanker, yang menyerap dan merugikan alokasi anggaran lain. Sistem keamanan pangan belum matang, lalu bagaimana dengan praktik laik hygiene dan GMP nya. Selain itu, tidak ada transparansi keuangan, siapa yang akan melakukan audit sistemnya?

Tidak heran bila publik mulai menuding program ini hanya menjadi lahan basah bagi lingkar kekuasaan. Jika menciptakan lapangan kerja, lalu bagaimana kerugian penjual di kantin sekolah yang sudah bertahun-tahun? Kenapa mereka tidak dilibatkan? Apakah mereka mendapat ganti rugi?

Mereka malah berpotensi kehilangan mata pencahariannya. Dari mana membuka lapangan pekerjaannya, selain cuan besar untuk yayasan dan politisi atau afiliasinya yang memiliki SPPG.

Jika orientasi utamanya memberi gizi, kenapa tidak membuat pilot project di daerah-daerah yang kasus stuntingnya tinggi? Atau di wilayah 3T, tidak harus serentak nasional seperti saat ini. Pilot project di wilayah itu, selain lebih tepat sasaran, menekan risiko, juga menghemat anggaran. MBG itu uang rakyat.

Kenapa memaksakan skema lama dengan SPPG yang menangani ribuan makanan dan jaraknya berkilo-kilo dari sekolah. Yang jelas bermasalah dan menimbulkan korban. Kenapa tak melibatkan kantin sekolah? Apakah benar opini publik soal ada kepentingan dengan para yayasan dan pemilik-pemilik SPPG?

Publik pun mulai menyoroti petinggi MBG, yang ternyata terdiri dari militer, kepolisian, purnawirawan, birokrasi, hingga mantan wartawan yang dekat dengan Presiden Prabowo.

Tetapi malah tidak ada ahli gizi, tidak ada dokter spesialis anak, tidak ada ahli tumbuh kembang anak, tidak ada chef berpengalaman. Kepala BGN pun berlatar entomologi atau ilmu yang mempelajari tentang jenis dan kehidupan serangga. Ia juga ahli dalam bidang proteksi tanaman, tapi bukan ahli gizi.

Coba saksikan video dari pemilik restoran via akun @nada_arini, tentang pengalaman keluarganya dalam mengelola katering.

Ia berbagi pengalamannya saat mengelola restoran selama 14 tahun, dengan tiga cabang. “Masak untuk restoran dengan katering itu beda banget penanganannya.” Keluarganya pernah ikutan tender katering pabrik dengan syarat yang sangat ketat. Karena memasak untuk ribuan orang dalam satu waktu.

Ia mengingatkan, “Itu rentan sekali bermasalah.” Titik kritisnya di kontaminasi silang, penyimpanan tak sesuai suhu, transportasi dan distribusi, sumber air dan bahan baku.

Bahan mentah bertemu bahan matang, risiko kontaminasi bakterinya bisa langsung naik. Biasa terjadi saat pengolahan bahan atau pengiriman barang. Wadah atau alatnya tak tercuci dengan baik. Atau wadahnya sama-sama digunakan dari pengolahan mentah ke pengolahan matang. Ini juga bisa bermasalah.

“Itu sebenarnya tidak boleh. Walau sudah dicuci terlebih dahulu. Jadi, makanan tak perlu tunggu busuk dulu untuk jadi bermasalah,” imbuhnya. Untuk pangan hewani kalau tidak disimpan pada suhu yang tepat, juga bermasalah.

Dari proses penyimpanan bahan, pengolahan, pengepakan sampai pendistribusian kalau disimpan di suhu yang tidak tepat juga menyebabkan munculnya bakteri. Ia juga mengingatkan soal sumber air yang tidak higienis atau bahan bakunya datang dari suplier yang tak kredibel, itu juga rentan bermasalah.

“Nah bayangin, satu dapur juga tidak siap. Karena tiap daerah sumber dayanya berbeda-beda. Terus disuruh bikin makanan ribuan, sekali waktu, tiap hari, ya ambyar. Kami saja yang restoran akhirnya mundur dari tender karena enggak sanggup.”

Semua bisa bikin makanan “kelihatan aman” tapi sebenarnya rawan bakteri. Apalagi kalau dapurnya belum siap dengan standar sebesar itu. “Jadi menurutku emang MBG ini perlu ditinjau ulang. Stop segera, evaluasi kesiapan, sudah terlalu banyak korban,” sarannya.

Kalau saja restoran berpengalaman kewalahan hingga mengukur diri dan mundur, apalagi SPPG yang SDM nya hanya pernah menangani katering untuk 10 orang. Paling banter 100 orang. Itu pun dengan alat yang jauh dari standar restoran. Tapi kenapa masih dipaksakan? Mau sampai berapa lagi korbannya?

Saatnya ubah skema. Uang rakyat jangan lagi dipaksakan demi ambisi potensi proyek bancakan, yang bisa menambah rentetan kasus keracunan.

Hentikan sementara. Evaluasi total semuanya. Para ahli dan publik berkali-kali mendesaknya. Apakah masih tak mau mendengarkan rakyat? Lalu program ini untuk kepentingan siapa?

Shalaalahu alaa Muhammad

Rudi Agung

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |