REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Aula SMP Stella Duce 1 Yogyakarta menjadi saksi pencanangan Gerakan Kampung Panca Tertib untuk Kampung Sosromenduran dan Sosrodipuran, Kamis (25/9/2025). Letaknya yang berada di antara dua kampung tersebut, ditambah program lingkungan yang sudah lama dijalankan, membuat sekolah ini dianggap paling tepat menjadi tuan rumah deklarasi.
Program Kampung Panca Tertib lahir pada 2015 dari inisiatif Pemkot Yogyakarta melalui Satpol PP. Gerakan ini menekankan pentingnya lima ketertiban diantaranya, tertib daerah milik jalan, tertib bangunan, tertib usaha, tertib lingkungan, dan tertib sosial. Kini giliran Sosromenduran dan Sosrodipuran yang bergabung, menjadikan mereka kampung ke-164 dari 169 kampung di Yogyakarta.
Koordinator Kampung Sosromenduran, Vera, menyampaikan bahwa kesiapan kampung bukan sekadar jargon. Ia dengan lantang menyebut masih ada tantangan besar dalam masalah sampah.
“Kesadaran warga untuk memilah sampah memang masih rendah. Di Sosromenduran, dari 50 keluarga baru 20 yang sudah rutin memilah sampah. Di Sosrodipuran kondisinya serupa, dari 201 keluarga baru 37 yang sudah memilah sampah, sisanya 164 keluarga belum. Ini menjadi PR yang besar untuk kita selesaikan bersama,” ucapnya.
Sebagai solusi, warga diarahkan untuk menerapkan lima langkah mudah. Mulai dari memilah sampah sesuai jenisnya, menyerahkan sampah anorganik ke bank sampah, mengolah sampah organik dengan metode seperti komposter atau losida, membiasakan diri menghabiskan makanan agar tidak tersisa, hingga memakai wadah yang bisa digunakan berulang.
Kepala Satpol PP Kota Yogyakarta, Octo Noor Arafat menyebut Panca Tertib adalah inovasi yang lahir dari kebutuhan masyarakat itu sendiri.
“Panca Tertib itu adalah upaya mewujudkan Jogja yang tertib dengan semangat gerak serentak. Tapi kuncinya ada di komitmen warga. Pemerintah hanya memetakan persoalan, mendorong kolaborasi, dan mendampingi. Suksesnya tergantung kesediaan masyarakat istiqomah menjalankan komitmen yang sudah dibuat,” jelasnya.
Ketua DPRD Kota Yogyakarta, FX Wisnu Sabdono Putro ikut menyoroti soal sampah sebagai persoalan prioritas. “Sampah ini musuh bersama. Tidak bisa hanya diserahkan ke pemerintah, tapi harus jadi kesadaran kolektif warga. Kalau ada gotong royong dan ronda kampung berjalan baik, otomatis keamanan dan ketertiban akan lebih terjaga,” katanya.
Lebih lanjut, Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, juga menekankan pentingnya kejujuran dalam memotret kondisi kampung. Ia mengapresiasi laporan Vera yang terbuka soal jumlah keluarga yang belum memilah sampah.
“Gotong royong itu bukan sekadar kerja bareng, tapi empati. Kita punya kewajiban membantu tetangga yang lemah. Jangan sampai budaya empati hilang hanya karena alasan zaman sudah berubah,” ujar Hasto.
Ia menambahkan bahwa pemerintah sudah menyiapkan fasilitas, mulai dari 1.200 ember pilah sampah untuk penggerobak, hingga dukungan dinas untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk. Namun, tanpa partisipasi aktif warga, fasilitas itu tidak akan berjalan optimal.
Deklarasi ini menegaskan bahwa persoalan sampah dan ketertiban kampung bukan tugas satu pihak saja. Sosromenduran dan Sosrodipuran kini punya komitmen bersama yang harus dijaga, bukan hanya lewat tanda tangan deklarasi, tapi lewat aksi nyata di rumah, di jalan, dan di lingkungan sekitar.