Menurunnya Indeks Demokrasi di Tengah Politik Dinasti

15 hours ago 7

TEMPO.CO, Jakarta - Hasil riset dari The Economist Intelligence Unit (EIU), lembaga riset dan analisis yang berpusat di London, Inggris, menunjukkan indeks demokrasi di Indonesia pada tahun 2024 hanya sebesar 6,44. Skor ini anjlok dibanding tahun 2023 sebesar 6,5 dan tahun 2022 yang sebesar 6,71.

Angka tersebut juga dengan serta-merta membuat peringkat Indonesia turun dari posisi 56 menjadi 59 dari total 167 negara. Indonesia masih terperangkap dalam kategori negara dengan demokrasi yang cacat atau flawed democracy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu hal yang menjadi sorotan oleh EIU yang menjadi alasan di balik kemunduran demokrasi di Indonesia adalah terpilihnya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Kemenangan pasangan tersebut disinyalir tak lepas dari permainan politik dinasti.

EIU menilai, perkembangan politik dinasti sangat terlihat di Indonesia dengan terpilihnya Prabowo dan Gibran sebagai pemenang kontestasi pemilihan presiden. Di mana Prabowo notabene adalah mantan menantu Presiden Ke-2 Soeharto yang dikenal otoriter. Sementara Gibran merupakan anak kandung Presiden Ke-7 Joko Widodo.

“Di Indonesia, pemilihan presiden mengangkat Prabowo Subianto, seorang mantan jenderal militer dengan masa lalu yang kontroversial, yang mendapat dukungan diam-diam dari mantan presiden Joko Widodo,” tulis EIU dalam dokumen hasil riset mereka yang diterima Tempo pada Rabu, 5 Maret 2025.

Munculnya keturunan dari pemimpin sebelumnya sebagai pemain politik, atau sebagai pemimpin politik selanjutnya, menimbulkan kekhawatiran semakin menguatnya praktik kolusi yang berbahaya bagi demokrasi. Hal ini juga berpotensi mengurangi adanya pengawasan yang berimbang terhadap jalannya kekuasaan.

“Kekhawatiran tentang konsentrasi kekuasaan di tangan beberapa keluarga politik-ekonomi terkemuka dan penciptaan jaringan patronase yang merusak fungsi institusi demokratis,” lanjut EUI dalam penjelasannya.

Pola-pola tersebut dinilai semakin terlihat setelah kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi, mengeluarkan putusan kontroversial yang mempermulus langkah Gibran untuk maju sebagai calon wakil presiden pada saat itu. Hal tersebut bahkan dianggap telah menghancurleburkan independensi lembaga peradilan.

“Mengonfirmasi kecurigaan bahwa presiden masa lalu dan sekarang berkolusi untuk saling menguntungkan,” ujar EIU kembali.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sempat menanggapi soal isu dinasti politik setelah putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka diusung sebagai bakal calon wakil presiden dari Prabowo Subianto. "Ya itu kan masyarakat yang menilai,” kata Joko Widodo setelah menghadiri acara Investor's Daily Summit 2023 di Jakarta, Selasa 24 Oktober 2024.

"Yang menentukan itu rakyat yang mencoblos itu rakyat, itu bukan elite, bukan partai, itulah demokrasi," kata Jokowi melanjutkan.

Selain di Indonesia, pola terjadinya politik dinasti juga nampak di negara-negara lain di ASEAN. Di Thailand misalnya, Paetongtarn Shinawatra, putri mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra, terpilih menjadi perdana menteri termuda di negara itu pada Agustus 2024 lalu.

Cerita serupa juga terjadi di Filipina, di mana keluarga-keluarga terkemuka menguasai dan terus mendominasi lanskap politik di negara itu. Hal ini dibuktikan lewat kemenangan putra mantan diktator Ferdinan Marcos dan putri mantan presiden sebelumnya Rodrigo Duterte dalam kontestasi pemilihan presiden di sana.

“Kualitas pemerintahan menderita karena politisi dinasti lebih mungkin terlibat dalam perilaku mencari rente, bekerja dengan kelompok kepentingan khusus dan mengalokasikan sumber daya publik untuk keuntungan pribadi daripada untuk kebaikan publik,” kata EIU.

PIlihan Editor: Indeks Demokrasi Indonesia Turun, Ini Kata Istana

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |