TEMPO.CO, Jakarta - Dalam tradisi di Jawa menyambut tibanya bulan Ramadan ada sebuah tradisi yang masih dilakukan warga hingga sekarang yaitu ruwahan. Hidangan khas yang selalu disajikan, yaitu ketan, kolak, dan kue apem.
Ketiga jenis makanan ini bukan hanya sekadar sajian kuliner ruwahan, tetapi juga memiliki makna filosofis yang mendalam bagi masyarakat yang menjalankan tradisi ini. Setelah dibuat, makanan tersebut kemudian dibagikan kepada tetangga sekitar sebagai bentuk kebersamaan dan kepedulian sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tradisi Ruwahan Ketan Kolak Apem
Dikutip dari berbagai sumber termasuk laman jogjakota.go.id, kolak, misalnya, memiliki keterkaitan dengan kata dalam bahasa Arab, yaitu "khalaqa" yang berarti menciptakan, serta "Khaliq" yang bermakna Sang Pencipta. Bagi masyarakat Jawa, kolak melambangkan harapan agar orang yang memasaknya senantiasa mengingat Tuhan.
Kolak sendiri dibuat dari bahan seperti ubi, pisang, dan kolang-kaling yang direbus bersama, lalu ditambahkan santan dan gula jawa untuk memberikan rasa manis. Pada tradisi ruwahan, kolak dibuat dengan kuah yang lebih kental, bahkan hampir menyusut habis, sehingga menghasilkan cita rasa yang lebih pekat dan legit.
Sementara itu, kue apem juga memiliki makna simbolis yang kuat. Nama "apem" diduga berasal dari bahasa Arab "afwan," yang berarti maaf atau permohonan ampun. Oleh karena itu, kue ini mencerminkan makna saling memaafkan antar sesama manusia. Selain itu, teksturnya yang lengket menggambarkan eratnya hubungan silaturahmi dalam kehidupan sosial. Kue apem dibuat dari tepung beras dan memiliki bentuk bulat pipih. Proses memasaknya pun tidak sembarangan, karena harus menggunakan api kecil agar matang secara merata, sehingga diperlukan kesabaran dalam pembuatannya.
Berbeda dengan kolak dan apem yang memiliki akar kata dari bahasa Arab, ketan berasal dari bahasa Jawa asli. Kata "kraketan" atau "ngraketke ikatan" memiliki arti merekatkan hubungan. Oleh sebab itu, ketan menjadi simbol persaudaraan yang erat antar manusia, sesuai dengan teksturnya yang pulen dan lengket. Selain itu, ketan juga memiliki makna "kemutan" dalam bahasa Jawa, yang berarti mengingat. Ini menandakan refleksi diri dan introspeksi terhadap kesalahan serta dosa yang telah dilakukan, sehingga ketan menjadi pengingat bagi manusia untuk bertaubat.
Ketiga makanan ini selalu hadir dalam tradisi ruwahan yang diselenggarakan menjelang Ramadan, tepatnya pada pertengahan bulan Ruwah dalam kalender Jawa. Tradisi ini dilakukan setiap tahun sebagai bentuk persiapan menyambut bulan suci dengan hati yang bersih dan penuh kesadaran spiritual. Selain itu, tujuan utama dari ruwahan adalah berdoa agar dapat menjalani ibadah puasa dengan penuh ketulusan tanpa tergoda oleh hal-hal yang dapat mengurangi nilai ibadah, hingga datangnya hari kemenangan.
Tradisi ruwahan merupakan elemen penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. Tanpa disadari, ruwahan menjadi bentuk pelaksanaan ajaran agama, terutama dalam aspek berbagi dan kepedulian sosial. Salah satu nilai yang terkandung dalam tradisi ini adalah pembersihan harta, karena dalam harta yang dimiliki seseorang terdapat hak bagi fakir miskin.
Dengan adanya ruwahan, masyarakat diajak untuk saling tolong-menolong dan berbagi rezeki, sehingga tradisi ini juga menjadi ajang mempererat solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, ketan, kolak, dan apem tidak hanya sekadar makanan, tetapi juga mengandung nilai spiritual dan sosial yang sangat berarti dalam tradisi ruwahan.
Raudatul Adawiyah Nasution, Mila Novita, dan Naomi A. Nugraheni berkontribusi dalam penulisan artikel ini.