Yogyakarta, CNN Indonesia --
Dosen Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang Wiratraman menyatakan UU TNI harus direvisi. Proses revisi yang salah satunya digelar di hotel bintang lima secara tertutup juga disebut menunjukkan buruknya komitmen terhadap transparansi.
Herlambang menilai pembahasan revisi UU TNI terkesan dikebut. Padahal, menurut dia, banyak undang-undang lain yang lebih penting dan perlu segera direvisi.
"Kita tidak sedang dalam posisi melihat urgensi mengapa undang-undang TNI itu harus direvisi. Ada banyak undang-undang yang lain yang penting dan perlu direvisi atau diperbaiki atau dibentuk. Kalau bicara kesejahteraan, kesejahteraan tidak hanya untuk anggota TNI. Kita tahu TNI juga perlu sejahtera, tapi warga negara bangsa kita semuanya harus sejahtera," kata Herlambang dalam orasinya saat aksi Mimbar Bebas Menolak RUU TNI di halaman Balairung, UGM, Sleman, DIY, Selasa (18/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Herlambang bilang, Mimbar Bebas ini digelar karena para penguasa negeri kolot, ogah mendengar aspirasi yang sebenarnya sudah banyak disampaikan di ruang publik., terutama mengenai penolakan terhadap RUU TNI dan kemungkinannya menghidupkan kembali dwifungsi militer.
"Kita tahu semangat dari rencana revisi ini adalah mengikis supremasi sipil. Dia ingin memasukkan gagasan-gagasan di mana kuasa atau jabatan militer itu bisa masuk ke kekuasaan sipil," tegasnya.
Belum lagi, kata Herlambang, pembahasan secara tertutup di hotel bintang lima di Jakarta pada akhir pekan ini telah menunjukkan buruknya komitmen transparansi dan partisipasi publik.
Baginya, pemerintah dan DPR tak lagi segan menunjukkan bagaimana mereka memanipulasi sebuah proses, termasuk legislasi.
"Karena situasinya adalah sering tidak mendengar, maka isinya abusive law making, pembentukan hukum semakin ugal-ugalan," ungkapnya.
Dalam Mimbar Bebas tersebut dibacakan pernyataan bersama. Intinya, mereka menganggap revisi UU TNI bertentangan dengan agenda reformasi TNI yang semestinya mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara sebagaimana amanat konstitusi dan demokrasi.
Selama sistem hukum impunitas terhadap TNI masih ada, maka pembicaraan apapun menyangkut peran TNI menjadi tidak relevan dan tak pernah bisa dipertanggungjawabkan.
"Artinya, tidak ada urgensinya membahas perubahan UU TNI. Apalagi jika prosesnya dilakukan secara tertutup dan tersembunyi di hotel mewah, bukan di rumah rakyat - Gedung DPR," bunyi pernyataan bersama tersebut.
Wakil Ketua Bidang Pergerakan Dema FH UGM, Markus Togar Wijaya sementara merasa bak sia-sia belajar hukum melihat bagaimana proses legislasi RUU TNI.
"Karena dosen-dosen di kelas ngomong tentang hukum soal partisipasi bermakna, putusan MK dan lain sebagainya. Tapi, kita nggak lihat ada partisipasi bermakna dalam perumusan RUU TNI," katanya.
"Prosesnya tertutup, di dalam hotel, dilaksanakan pada hari libur lagi, apa coba. Kita ini marah sebagai orang hukum ya, kita merasa sia-sia belajar hukum," sambungnya.
Terkait ini, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengklaim proses pembahasan Revisi Undang-undang nomor 34 Tahun 2024 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang dilakukan DPR bersama pemerintah tidak dikebut.
Dasco mengklaim rapat Panja RUU TNI yang digelar pada akhir pekan lalu di Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta pun sudah sesuai dengan lini masa pembuatan undang-undang sesuai peraturan yang berlaku.
Dia pun membantah rapat RUU TNI digelar diam-diam, karena mengundang pula partisipasi publik dan terbuka.
"Saya sampaikan bahwa tidak ada mengebut dalam (pembahasan) UU RUU TNI seperti kita tahu bahwa RUU TNI sudah berlangsung dari beberapa bulan lalu... Itu kemudian dibahas di Komisi 1 termasuk kemudian mengundang partisipasi publik," kata Dasco dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/3).
"Tidak ada rapat terkesan diam-diam karena rapat di hotel terbuka. Boleh dilihat di agenda rapatnya, itu rapat diadakan terbuka dan memang konsinyering dalam setiap pembahasan UU itu memang ada aturannya," ujar dia yang juga Ketua Harian Partai Gerindra tersebut.
Ancam peluang kerja generasi muda
Dosen Sekolah Vokasi UGM, Yudistira Hendra sementara itu mengungkapkan, selain kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi militer seperti era Orba, substansi RUU TNI juga dinilai menimbulkan risiko kehilangan pekerjaan bagi generasi muda.
Pernyataan Yudistira menyangkut perluasan penambahan posisi sipil di kementerian/lembaga yang bisa diduduki prajurit TNI aktif bertambah, dari yang semula 10 menjadi 16 lembaga.
"Karena bisa jadi itu nanti akan diisi oleh orang-orang dari militer, pada akhirnya ini akan mengurangi lapangan juga bagi pekerjaan generasi muda," kata Yudistira.
(kum/wis)