TEMPO.CO, Jakarta - Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Refki Saputra menanggapi rencana pemerintah yang ingin memberikan akses tanah untuk rakyat sebagai upaya pengentasan kemiskinan ekstrem. Pemerintah juga berencana membalik skema plasma-inti yang selama ini dinilai kurang menguntungkan bagi petani kecil.
“Jika tidak dikelola dengan benar, kebijakan ini bisa menjadi alat baru bagi ekspansi industri ekstraktif yang justru memperburuk kemiskinan dan kerusakan lingkungan,” kata Refki ketika dihubungi Tempo, Sabtu, 1 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Greenpeace Indonesia menilai bahwa secara konsep, rencana kebijakan ini tampak sebagai langkah positif. Namun, ada sejumlah persoalan mendasar yang harus diperjelas agar kebijakan ini benar-benar berdampak adil dan tidak hanya menjadi retorika politik belaka.
Risiko Perampasan Lahan dan Keberlanjutan Lingkungan
Salah satu kekhawatiran utama adalah sumber lahan yang akan dialokasikan. Jika tanah tersebut berasal dari hutan yang masih tersisa atau kawasan ekosistem penting, maka kebijakan ini justru berisiko memperburuk krisis lingkungan.
Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa redistribusi lahan kerap menjadi pintu masuk bagi ekspansi perkebunan monokultur skala besar, seperti perkebunan sawit atau proyek food estate di Kalimantan Tengah dan Papua, yang menyebabkan deforestasi, merusak keanekaragaman hayati, serta memperparah krisis iklim.
Selain itu, Refki mengingatkan bahwa tanah yang diberikan harus dipastikan tidak memperkuat kepentingan korporasi besar. Jika lahan yang dialokasikan berasal dari konsesi perusahaan dalam bentuk landbank yang tidak produktif atau sudah rusak, maka petani kecil tetap berada dalam posisi rentan, sementara korporasi tetap mengendalikan rantai pasok.
Skema Inti-Plasma dan Kendali Petani
Pembalikan skema inti-plasma agar petani mendapat bagian lebih besar dianggap ideal di atas kertas, tapi realitas di lapangan sering berbeda. “Jika ditarik kebelakang, perusahaanlah yang membuat masyarakat menjadi miskin pada awalnya dengan akumulasi lahan yang besar untuk perkebunan,” tutur Refki. Banyak petani dalam skema plasma tetap bergantung pada perusahaan untuk akses modal, bibit, pupuk, hingga pasar.
“Alih-alih menerapkan skema kemitraan, perusahaan mengerjakan kebun plasma sendiri karena mereka yang punya modal dan pengetahuan. Akibatnya, kebun plasma yang dijanjikan tak kunjung didapat masyarakat,” katanya. Ia juga menyinggung kasus kematian Gijik, warga Desa Bangka, Seruyan, Kalimantan Tengah, dalam memperjuangkan lahan plasma sebagai bukti bahwa realisasi kebijakan ini masih jauh dari harapan.
Refki menekankan bahwa pemerintah harus melakukan perubahan struktural untuk memastikan petani benar-benar mandiri dan tidak hanya menjadi tenaga kerja murah dalam sistem yang menguntungkan perusahaan besar. Regulasi yang ketat serta keberpihakan kepada petani kecil harus lebih jelas agar mereka dapat mengelola lahan secara berkelanjutan dan bebas dari eksploitasi.
Apakah Ini Solusi terhadap Kemiskinan?
Greenpeace mengingatkan bahwa kemiskinan adalah masalah struktural yang tidak hanya bisa diselesaikan dengan akses terhadap lahan. Faktor pendidikan, kesehatan, kepemilikan lahan, akses pasar, infrastruktur, serta model ekonomi yang lebih berkeadilan juga harus diperhatikan.
“Jika pemerintah hanya fokus pada pembagian tanah tanpa memastikan sistem yang mendukung petani untuk benar-benar sejahtera, maka kebijakan ini hanya akan menjadi solusi jangka pendek,” ucap Refki.
Oleh karena itu, Greenpeace mendukung pendekatan yang lebih menyeluruh, meliputi redistribusi lahan yang adil, transparan, dan tidak merusak lingkungan; dukungan untuk pertanian berbasis agroekologi, bukan ekspansi monokultur yang merusak; kebijakan yang benar-benar menghilangkan dominasi korporasi dalam skema inti-plasma dan memberikan akses lebih luas bagi petani untuk mengelola pertaniannya sendiri; serta sistem perlindungan sosial bagi petani kecil agar mereka tidak rentan terhadap eksploitasi dan ketimpangan pasar.
Sebelumnya, Kepala Badan Pengentasan Kemiskinan Budiman Sudjatmiko mengatakan bahwa reforma agraria adalah syarat utama bagi Indonesia untuk menjadi negara maju. “Presiden Prabowo sudah memerintahkan agar upaya pengentasan kemiskinan ekstrem harus dilakukan dengan memberikan akses tanah untuk rakyat. Kalau perlu dengan Dekrit Presiden,” kata Budiman di sela-sela acara Asia Land Forum 2025 di Jakarta Barat, Rabu, 19 Februari 2025.
Budiman juga menyinggung skema plasma-inti dalam pertanian besar yang selama ini dinilai kurang menguntungkan bagi petani kecil. Saat ini, petani (plasma) hanya menguasai 20 persen sementara perusahaan besar (inti) menguasai 80 persen. Pemerintah berencana membalik skema ini sehingga petani mendapatkan bagian yang lebih besar.
Dia menyebut, pemerintah masih mengkaji apakah perubahan ini memerlukan revisi undang-undang atau cukup dengan peraturan baru. “Kami sedang mengkajinya di rapat, kemarin sudah rapat koordinasi dengan beberapa menteri yang lain.”