TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara mengatakan kampung-kampung tua di Pulau Rempang, Kota Batam, berpeluang mendapat legalitas. Menurut dia, sudah ada opsi yang memungkinkan dilakukan Pemerintah Kota Batam. Salah satunya, pemberian hak tanah ulayat.
“Itu ada prosesnya. Jadi, ada pengakuan masyarakat adat, dan sebagainya,” kata Iftitah kepada Tempo, Sabtu, 26 April 2025. “Yang saya tangkap dari walikota (Batam), mereka (pemerintah kota) punya good will.”
Mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, Iftitah mengatakan akan dibentuk panitia masyarakat hukum adat. Setelah itu, pemerintah kota yang akan menetapkan masyarakat hukum adat tersebut.
“Nanti ditentukan batas-batas (wilayah masyarakat adat) oleh pemerinta kota. Ada roadmap, ada rute yang harus dilalui,” kata Iftitah. “Kalau rute itu terbuka, maka itu adalah berita baik.”
Menurut Iftitah, nantinya akan ditentukan kampung tua mana saja yang memenuhi syarat untuk dilegalisasi. Ia berujar, pemerintah tidak akan sekadar mengakomodasi kepentingan orang per orangan. “Ini adalah mengakomodir kepentingan kelompok masyarakat,” kata purnawirawan TNI AD itu.
Sementara proses itu belum berjalan, Iftititah mengatakan Kementerian Transmigrasi tetap akan melanjutkan pembangunan hunian relokasi di Tanjung Banon. Setidaknya, ada 500 unit rumah yang menjadi pekerjaan kementeriannya.
“Saya tetap akan membangun 500 rumah di Tanjung Banon dengan mengatakan bahwa opsi (legalisasi) kampung tua itu ada,” kata dia.
Sejak proyek pengembangan Rempang Eco City ditetapkan menjadi Proyek Strategis Nasional atau PSN di era pemerintahan Presiden Jokowi, warga Pulau Rempang berkeras menolak penggusuran.
Warga yang sudah turun temurun mendiami Pulau Rempang tidak mau direlokasi. Penolakan ini kemudian dilanjutkan ketika pemerintah datang membawa program transmigrasi lokal melalui Kementerian Transmigrasi—kementerian yang dihidupkan Presiden Prabowo Subianto.
Sani Rio menuturkan, warga Pulau Rempang tidak ingin dipindah dari lahan tempat tinggalnya karena mereka sudah hidup di Pulau Rempang sejak sebelum Indonesia merdeka. Salah satu buktinya, ia memiliki nenek berusia 105 tahun. Karena itu, alih-alih transmigrasi, warga membutuhkan pengakuan atas kepemilikan lahan tempat tinggal mereka.
“Kami ingin legalitas,” kata Sana Rio dalam forum audiensi dengan Menteri Transmigrasi di Kampung Pasir Panjang, Ahad, 30 Maret 2025. “Rempang ini sangat kosong. Kalau ada warga masuk, silakan. Bukan kami yang harus digeser.”
Hal yang sama juga disampaikan Ishak—seorang warga Rempang lainnya—saat audiensi di Kampung Pasir Merah pada Sabtu, 29 Maret 2025. “Kami ingin meminta legalitas kampung tua yang ada di Rempang,” kata Ishak. Senada dengan Sana Rio, ia menyebut kampung-kampung tua di Pulau Rempang sudah eksis sejak sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri.
Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Ossy Dermawan mengatakan pemerintah akan berusaha mencari solusi dan jalan keluar atas konflik agraria yang terjadi di Pulau Rempang. Namun, ia belum bisa memastikan soal legalisasi kampung tua.
“Sedang kami kaji. Kami akan lihat bagaimana, karena kalau yang tanah relokasi kan sudah dikeluarkan sertifikat hak miliknya,” ujar Ossy saat ditemui usai acara Indonesia International Valuation Conference 2025 di ICE BSD, Tangerang, pada Kamis, 24 April 2025.
Pilihan Editor: Nestapa Warga Rempang yang Pindah ke Kampung Baru