TEMPO.CO, Jakarta - Eksekusi lahan Perkebunan Padang Halaban, Sumatera Utara, yang semula dijadwalkan berlangsung pada 28 Februari 2025 ditunda sampai setelah Lebaran. Misno, perwakilan Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS), mengatakan advokasi warga pada awalnya membuat penggusuran ditunda selama sepekan. Namun pada Kamis, 6 Februari 2025, penggusuran akhirnya kembali ditunda.
Menurut Misno, sejak 5 Maret, alat-alat berat sudah berangsur dikeluarkan dari wilayah Padang Halaban. Tenda-tenda TNI juga sudah dibongkar. Meski demikian, tidak ada surat tertulis yang menyatakan sampai kapan eksekusi ditunda. “Jadi (eksekusi) tanggal 6 itu diundur sampai Lebaran. Tapi ke setelah Lebaran kami juga belum tahu akan bagaimana,” kata Misno kepada Tempo melalui sambungan telepon pada Sabtu, 8 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama dua minggu terakhir, Misno bersama perwakilan warga Padang Halaban menggalang solidaritas di Jakarta, termasuk meminta bantuan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Advokasi inilah yang akhirnya membuat penggusuran ditunda.
Dihubungi secara terpisah, Reza Muharam, salah satu pendamping warga Padang Halaban, mengatakan penundaan ini membuat warga Padang Halaban bisa sedikit bernapas. Kendati demikian, kata dia, warga masih menghadapi ketidakpastian mengenai nasib tanah mereka.
“(Penundaan) ini, kan, napas-napas pendek yang tidak tahu sampai kapan. Itu yang membuat warga di sana tetap was-was, tetap berjaga-jaga, tetap siaga,” kata Reza.
Head of Corporate Communication Sinar Mas Agribusiness and Food, Stephan Sinisuka, membenarkan bahwa eksekusi lahan ditunda. “Untuk pelaksanaan betul diundur, dan belum ada informasi lanjutan kapan (akan dilaksanakan),” kata Stephan ketika dikonfirmasi melalui pesan singkat pada Sabtu.
Kepala Kepolisian Resor Labuhanbatu Ajun Komisaris Besar Bernhard Malau mengklaim telah berkoordinasi dengan warga. Dia mengatakan lembaganya hanya bertugas mengamankan jalannya eksekusi lahan yang merupakan keputusan Pengadilan Negeri Rantauprapat.
“Rencana eksekusi akan dilaksanakan setelah Lebaran, dengan tetap mengedepankan pendekatan persuasif dan menjaga keamanan bersama,” ucap Bernhard dalam keterangan resmi pada Kamis, 6 Maret 2025.
Sejarah sengketa lahan Padang Halaban
Peneliti dari Agrarian Resource Center Indonesia, Muhammad Syafiq menjelaskan sejarah kepemilikan lahan oleh petani di Padang Halaban, Sumatera Utara. Menurut dia, petani eks buruh perkebunan asing zaman kolonial di Padang Halaban mendapatkan hak penguasaan atas tanah melalui Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) saat itu.
“Setiap petani punya KTPPT dan diperbolehkan memiliki lahan hingga 2 hektare, sesuai dengan ketentuan pemerintah pada 1958-an. Kartu ini pada saat itu dikeluarkan oleh kantor reorganisasi tanah Sumatera Timur,” kata Syafiq saat konferensi pers di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Selasa, 4 Maret 2025.
Bara konflik mulai terjadi pada Orde Baru. Padang Halaban menjadi salah satu desa sasaran dalam peristiwa genosida 1965. Kemudian pada 1968, rezim Soeharto mengeluarkan kebijakan untuk mengembalikan kepemilikan perkebunan di Padang Halaban kepada pemilik asalnya yaitu perusahaan Belanda SUMCAMA NV yang telah berganti nama menjadi Plantagen AV. Warga pun menjadi korban penggusuran paksa.
Kemudian pada 1972, Plantagen AV diambil alih kepemilikannya oleh PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART). Pada saat itu pula, kata Syafiq, penggusuran terus dilakukan kepada para petani yang menduduki lahan di Padang Halaban. Dari yang sebelumnya ada 2000 hektare, kini hanya tersisa sekitar 83 hektare saja.
Alif Ilham Fajriadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.