TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia menyebut peristiwa pembunuhan di Way Kanan, Lampung, menunjukkan dampak negatif masuknya TNI ke dalam urusan sipil. Revisi UU TNI yang sedang kejar tayang mestinya diurungkan Pemerintah dan DPR.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan tanpa revisi UU TNI sekalipun, aparat militer dengan menyalahgunakan senjata telah terlibat dalam berbagai urusan sipil termasuk melakukan intervensi terhadap penegakan hukum oleh polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"TNI yang dipersenjatai oleh negara malah menyalahgunakan senjata untuk membunuh di luar hukum tiga anggota Polri yang sedang menjalankan tugas penegakan hukum," kata Usman dalam keterangan resminya, Rabu, 19 Maret 2025.
Usman mengatakan, peristiwa ini menambah daftar panjang kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat TNI/Polri di tahun 2025 menjadi 9 kasus dengan 11 korban dari Januari hingga Maret.
"Amnesty International mencatat sepanjang tahun 2024 terdapat sebanyak 55 kasus pembunuhan di luar hukum dengan jumlah korban 55 yang pelakunya mayoritas berasal dari aparat kepolisian maupun militer," kata Usman.
Usman mengatakan, dari rentetan kejadian yang terekam, sebanyak 10 pelaku berasal dari unsur TNI, 29 dari kepolisian, dan 3 berasal dari pasukan gabungan TNI-Polri.
"Sudah beberapa kali terjadi kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh aparat TNI sejak awal tahun 2025," katanya.
Dimulai dengan penembakan seorang bos rental mobil oleh dua anggota TNI AL di Tangerang pada 2 Januari.
Lalu, pada 31 Januari, seorang perempuan diduga dibunuh oleh kekasihnya, seorang anggota TNI AD berpangkat prajurit satu di Tangerang Selatan, Banten.
Pada 15 Maret lalu, seorang anggota TNI AL berpangkat Kelasi Dua juga dilaporkan menembak mati seorang pekerja sales mobil di Aceh Utara, Aceh.
"Pembunuhan di luar hukum oleh aparat terus terjadi seakan tidak mengenal kata henti," katanya.
Usman mengatakan, pembunuhan di luar hukum melanggar hak hidup. Ini disebabkan impunitas yang dibangun melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Untuk itu, bukanlah UU TNI yang perlu direvisi, melainkan UU Peradilan Militer. Usman mengatakan, hanya dengan langkah ini dapat memastikan keadilan yang sesungguhnya bagi para korban dan mengakhiri impunitas yang telah berlarut-larut.
"Mendesak pemerintah dan DPR untuk segera melakukan reformasi sistem peradilan militer dengan merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer," kata Usman.
Usman mengatakan, revisi UU Peradilan Militer justru lebih penting ketimbang merevisi UU TNI yang akan mengembalikan dwi fungsi TNI dan memperparah militerisasi ruang-ruang sipil maupun jabatan sipil di Indonesia.
"Revisi ini harus memastikan bahwa pelanggaran hukum pidana umum yang dilakukan oleh personel militer dapat diproses melalui peradilan umum, sesuai amanat Undang-Undang TNI nomor 34 Tahun 2004," kata Usman.
Selain itu, Usman juga mendesak evaluasi besar-besaran penggunaan senjata api TNI-Polri agar aparat tidak lagi menyalahgunakan senjata baik dalam konteks kedinasan maupun di luar tugas kedinasan.
"Lingkaran impunitas ini harus segera dihentikan agar ke depannya tidak ada lagi korban jatuh akibat penyalahgunaan wewenang aparat baik itu dari TNI maupun Polri," kata Usman.
Sebelumnya, tiga polisi ditembak mati saat menggerebek judi sabung ayam di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Way Kanan, Lampung, pada Senin 17 Maret 2025.
Mereka adalah Kapolsek Negara Batin Ajun Komisaris (Anumerta) Lusiyanto, Ajun Inspektur Dua (Anumerta) Petrus Apriyanto, dan Brigadir Satu (Anumerta) M Ghalib Surya Ganta.
Pelaku penembakan adalah dua anggota TNI AD yakni Kopral Kepala Basar dan Pembantu Letnan Satu Lubis. Keduanya telah ditahan di Polisi Militer Angkatan Darat (Pomad) Mako Kodim 0427/Way Kanan.