Jakarta, CNN Indonesia --
Kasus pernikahan anak kembali menjadi sorotan publik usai viralnya video pernikahan dua remaja SMK dan SMP di Desa Beraim, Lombok Tengah. Fenomena ini bukan kasus tunggal, melainkan bagian dari persoalan struktural yang lebih besar.
Berdasarkan laporan United Nations Children's Fund (UNICEF) tahun 2023, tercatat sebanyak 25,53 juta anak perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat keempat dunia dengan jumlah kasus perkawinan anak tertinggi, setelah India, Bangladesh, dan Cina.
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menegaskan konsistensi upaya dalam mencegah pernikahan anak melalui langkah-langkah sistematis dan kebijakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sejumlah kebijakan terkait pencegahan pernikahan usia dini sebenarnya sudah tersedia, pekerjaan rumah yang harus segera dilakukan adalah pemahaman para pemangku kepentingan dan masyarakat terkait implementasi sejumlah kebijakan tersebut," kata Lestari mengutip Detiknews, Selasa (14/1).
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat terdapat 65 ribu permohonan dispensasi nikah pada 2021 dan 55 ribu permohonan pada 2022. Sebagian besar pengajuan ini dikabulkan oleh pengadilan agama maupun pengadilan negeri.
Data Indonesia Judicial Research Society (IJRS) bahkan menunjukkan bahwa pada periode 2019-2023, sebanyak 95 persen permohonan dispensasi kawin disetujui pengadilan. Sepertiga dari permohonan tersebut diajukan karena anak perempuan telah hamil lebih dahulu.
Provinsi Jawa Timur menjadi salah satu daerah dengan jumlah dispensasi perkawinan tertinggi. Data dari Pengadilan Tinggi Agama Surabaya mencatat ada 15.212 pengajuan dispensasi nikah pada 2022. Sebanyak 80 persen diantaranya disebabkan karena kehamilan sebelum menikah. Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Timur, Maria Ernawati menyebut fenomena ini sebagai "fenomena gunung es."
"Ponorogo itu sebenarnya rendah bila melihat dari data PTA Surabaya dan itu fenomena gunung es. Dari 15.212 putusan diska di tahun 2022, 80 persen karena pihak perempuan sudah hamil duluan" ujar Erna, Selasa (17/1).
Di Ponorogo, Pengadilan Agama mencatat ada 266 permohonan dispensasi kawin pada 2021, dan 191 permohonan pada 2022. Bahkan di pekan pertama 2023 saja, tujuh permohonan dikabulkan karena kondisi yang dianggap mendesak, termasuk kehamilan dan bahkan persalinan.
Pemerhati anak Retno Listyarti mengatakan pernikahan anak umumnya terjadi pada siswa SMP dan SMA. Menurutnya, fenomena ini didorong oleh pergaulan bebas dan kurangnya edukasi tentang kesehatan reproduksi.
"Pendidikan kesehatan reproduksi secara sinergi dapat dilakukan pada anak-anak oleh guru di lingkungan sekolah dan orangtua di lingkungan keluarga, semua harus berkolaborasi mencegah karena mencegah lebih baik daripada mengobati," kata Retno lewat keterangan tertulis, Jumat (13/1).
Di Papua, data dari Wahana Visi Indonesia (WVI) mengungkapkan bahwa 24,71 persen anak menikah di bawah usia 19 tahun. Bahkan, ditemukan kasus anak menikah pada usia 10 tahun.
"Ini adalah angka mengenai perkawinan anak di mana angkanya sangat tinggi," kata salah satu peneliti WVI Agustinus Agung secara daring, Selasa (14/9).
Kabupaten Asmat menjadi daerah dengan angka tertinggi, hampir mencapai 30 persen. Jayapura mencatat 21,87 persen, Jayawijaya 18,23 persen, dan Biak Numfor 17,93 persen. WVI juga mencatat kehamilan anak di bawah umur mencapai 28,57 persen di Asmat.
"Anak dianggap sebagai jawaban untuk keluar dari problem kemiskinan yang ada," ujar Agung.
Peneliti IPB Dina Nurdiawati mengungkapkan pernikahan anak didorong oleh berbagai faktor, mulai dari pendidikan yang rendah, budaya, tafsir agama, hingga tekanan ekonomi,
"Banyak orang tua yang merasa, dengan menikahkan anaknya mereka menjadi terbantu secara ekonomi. Hal itu dikarenakan sudah ada yang memberi nafkahi anaknya, jadi bukan tanggung jawab mereka lagi sebagai orang tua," kata Dina, Jakarta (24/4).
Dalam banyak kasus, anak seringkali dianggap sebagai beban ekonomi atau solusi untuk memperbaiki kondisi keluarga. Pandangan budaya seperti "perawan tua", praktik perjodohan, hingga nilai mahar tinggi juga mendorong pernikahan anak. Sedangkan dari sisi agama, sebagian kelompok menormalisasi pernikahan dini untuk mencegah zina.
Dampak pernikahan anak sangat serius. UNICEF mencatat komplikasi kehamilan dan persalinan menjadi penyebab kematian tertinggi kedua bagi perempuan usia 15-19 tahun. Anak perempuan yang menikah dini juga empat kali lebih mungkin tidak menyelesaikan pendidikan menengah dan lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Staf Ahli Menteri PPPA Bidang Penanggulangan Kemiskinan Titi Eko Rahayu menyebut pernikahan anak sebagai ancaman nyata terhadap masa depan anak-anak.
"Tidak hanya memberikan dampak secara fisik dan psikis bagi anak-anak, perkawinan di usia anak juga dapat memperparah angka kemiskinan, stunting, putus sekolah hingga ancaman kanker serviks/kanker rahim pada anak," ujar Titi, Jumat (27/1).
Pemerintah sendiri telah mengubah batas minimal usia menikah bagi perempuan dari usia 16 tahun yang tercantum pada Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, menjadi minimal 19 tahun pada UU Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun realitanya, praktik dispensasi nikah masih marak.
Di sisi lain, ada wilayah yang cukup berhasil menekan angka pernikahan anak, seperti Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Bupati Maros, HAS Chaidir Syam mengungkapkan bahwa lewat Perda Kabupaten Layak Anak yang diterbitkan sejak 2017, serta program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA), jumlah pengajuan dispensasi perkawinan menurun drastis.
Chaidir mengatakan pemkab juga berhasil menekan angka pernikahan anak. Data Dispensasi Perkawinan di Kabupaten Maros mengalami penurunan drastis, pada tahun 2019 mencapai angka 188, Angka tersebut turun di 2021 sebanyak 71, hingga tersisa 10 pengajuan dispensasi di tahun 2022.
Maros juga mengembangkan sekolah ramah anak dan ruang bermain ramah anak untuk mendukung tumbuh kembang anak secara holistik. Strategi Daerah (Strada) yang mengacu pada Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) juga diterapkan.
"Sebab situasi atau penyebab perkawinan anak berbeda tiap wilayahnya, maka kami di Maros telah menyusun Strategi Daerah (Strada) PPA dengan mengacu pada stranas, sehingga penurunan angka perkawinan anak dapat turun dengan cepat, terbukti data dispensasi kita yang terakhir alhamdulillah tersisa 10," kata Chaidir.
Secara nasional, Indonesia menargetkan penurunan angka pernikahan anak sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) menjadi 6,94 persen. Lima strategi utama yang disusun dalam Stranas PPA mencakup optimalisasi kapasitas anak, lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak, aksesibilitas dan perluasan layanan, penguatan regulasi dan kelembagaan, serta penguatan koordinasi pemangku kepentingan.
(kay/isn)