Pernyataan Kontroversi Fadli Zon: Luka 98 Belum Sembuh, Negara Hendak Mengingkarinya?

2 weeks ago 36

Ilustrasi

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada bukti pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998 memantik kecaman luas dari berbagai kalangan. Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menegaskan bahwa pernyataan tersebut bertentangan dengan hasil penyelidikan resmi lembaganya.

Dalam wawancara yang ditayangkan di kanal ZOOMCAST & 1O1, Sabtu (21/6/2025), Anis menegaskan bahwa penyelidikan Komnas HAM tahun 2003 telah mengklasifikasikan peristiwa Mei 1998 sebagai pelanggaran HAM berat. Ia menekankan, terdapat bukti nyata kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk tindakan pemerkosaan yang dialami banyak korban perempuan.

“Pernyataan seperti itu bukan hanya keliru secara faktual, tapi juga sangat menyakitkan bagi para korban,” ujar Anis.

Ia menjelaskan, penyelidikan Komnas HAM mencakup pemanggilan saksi, pengumpulan dokumen, serta analisis berbagai temuan, termasuk data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk atas perintah Presiden B.J. Habibie pada masa itu.

Anis mengingatkan bahwa kerusuhan pada 13-15 Mei 1998 terjadi di banyak titik, dan penyelidikan Komnas HAM saat itu berfokus di wilayah Jakarta, Bekasi, dan Depok. “Jadi, jika mempertanyakan soal ‘massal’ atau tidak, itu justru menyederhanakan derita yang terjadi dalam banyak bentuk,” katanya.

Sementara itu, Menko PMK Pratikno mengklarifikasi bahwa yang dipermasalahkan Fadli adalah penggunaan istilah “massal”, bukan keberadaan kasus pemerkosaan itu sendiri. Namun menurut Anis, narasi semacam itu justru membuka kembali luka lama dan merusak upaya penyembuhan trauma para korban.

Sejumlah pihak juga mengecam pernyataan Fadli yang disampaikan dalam wawancara bersama Pemred IDN Times, Uni Lubis, dan diunggah ke YouTube pada 11 Juni 2025. Dalam pernyataannya, Fadli meragukan tragedi kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa saat kerusuhan 1998, dan menyebutnya sebagai cerita tanpa bukti.

Reaksi keras datang dari Koalisi Perempuan Indonesia, yang menyebut ucapan Fadli sebagai bentuk kekerasan simbolik baru. “Ketika negara menolak mengakui kebenaran, itu artinya negara turut menyakiti para penyintas,” kata juru bicara koalisi, Siti Umul Khoir.

Kritik juga dilontarkan oleh Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. Ia menyatakan bahwa pengingkaran terhadap laporan TGPF dan keberadaan Komnas Perempuan sebagai respons negara terhadap kekerasan seksual dalam tragedi 1998 adalah bentuk ketidakjujuran sejarah.

Usman juga menyinggung bahwa TGPF telah merekomendasikan penyelidikan lebih lanjut terhadap dua nama yang disebut dalam laporan: Sjafrie Sjamsoeddin dan Prabowo Subianto. “Pernyataan Fadli justru terkesan membela pihak yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban,” ujarnya.

Ketua Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia, Marzuki Darusman, juga menegaskan bahwa laporan TGPF merupakan produk resmi negara, dan menyangkal isinya sama saja dengan mengarang ulang sejarah. “Kalau itu bukan sikap resmi pemerintah, maka harus ada penegasan. Jika dibiarkan, krisis kepercayaan publik terhadap negara bisa muncul,” katanya.

Ia bahkan menyebut bahwa konsep awal penulisan ulang sejarah nasional yang kini digarap Kementerian Kebudayaan tidak memuat tragedi Mei 1998 secara utuh, dan hanya menyisakan dua peristiwa pelanggaran HAM, yaitu Talangsari dan Tanjung Priok.

Menanggapi dugaan penghapusan sejarah itu, Ketua Tim Penulis Sejarah Nasional, Susanto Zuhdi, menyatakan bahwa tragedi pemerkosaan dalam kerusuhan Mei 1998 tetap akan dicantumkan, namun porsinya akan disesuaikan agar tetap proporsional.

Susanto mengakui bahwa data korban dan pelaku masih diperdebatkan, namun ia memastikan bahwa kerusuhan Mei tetap tercatat sebagai babak penting dalam peralihan dari Orde Baru ke Reformasi. “Penulisan sejarah tidak boleh didikte oleh kepentingan. Sejarah adalah warisan kolektif bangsa,” ujarnya.

Polemik ini kian tajam karena Fadli Zon merupakan loyalis lama Presiden Prabowo Subianto, yang disebut dalam laporan TGPF terkait dugaan penculikan aktivis 1998. Kini sebagai Menteri Kebudayaan, Fadli memiliki otoritas besar dalam proyek penulisan ulang sejarah nasional, termasuk dalam menentukan isi dan arah narasi buku sejarah resmi negara.

Aliansi Perempuan Indonesia dan sejumlah aktivis menuntut agar Presiden Joko Widodo bersikap tegas terhadap pernyataan Fadli. Sebab, pengakuan Jokowi pada 2023 lalu telah memasukkan tragedi Mei 1998 sebagai salah satu dari 12 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui negara.

“Kalau negara hari ini mundur dari pengakuan itu, maka kita sedang menghadapi bukan hanya krisis keadilan, tapi krisis ingatan kolektif bangsa,” pungkas Anis. [*]

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |