2 hours ago
6
DKJ berharap Jakarta sebagai kota global tanpa kehilangan makna lokal.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA, – Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) mengadakan Pidato Kebudayaan 2025 dengan tema "Ruang sebagai Agensi: Jakarta, Kota Global, dan Negosiasi Budaya" pada Senin (10/11) malam. Acara ini menyoroti tantangan yang dihadapi Jakarta dalam upaya menjadi kota global tanpa kehilangan identitas lokalnya.
Wakil Ketua DKJ, Felencia Hutabarat, dalam sambutannya menyatakan bahwa meski Jakarta tidak lagi berstatus sebagai ibu kota negara, ambisi untuk menjadi kota global tetap menjadi arah baru. "Dia menjadi janji, bahwa Jakarta ingin sejajar dengan kota-kota besar dunia. Namun, muncul pertanyaan apakah mungkin sebuah kota menjadi global tanpa kehilangan makna lokalnya," ujar Felencia.
Menurut Felencia, perjalanan Jakarta menuju identitas tersebut sudah dimulai sejak abad ke-17. Jakarta sering dibayangkan sebagai tempat di mana semua identitas melebur menjadi satu budaya baru. Namun, di kota yang terus berkembang seperti Jakarta, peleburan ini berisiko menghapus perbedaan yang menjadi ciri khas kota tersebut.
Felencia menambahkan, keunikan Jakarta terletak pada keragamannya. Pada era Soekarno, Jakarta diimpikan sebagai kota modern dan berkelas dunia, lengkap dengan tugu, stadion, dan gedung-gedung megah sebagai simbol kemajuan bangsa. Kini, berbagai sebutan baru seperti kota metropolitan, kota kolaborasi, dan kota global muncul.
Dia menyoroti bahwa di balik semua istilah tersebut, suara masyarakat sering kali tidak terdengar dalam proses pengambilan keputusan. "Jakarta tidak pernah hanya soal rancangan, namun hidup karena warganya yang terus mencipta ruangnya sendiri," tegasnya, seraya mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan kota.
Acara ini juga menghadirkan sastrawan Afrizal Malna yang membacakan pidato berjudul "Suara Bajaj dari Cikini", menambah perspektif seni dalam refleksi kota global dan identitas lokal Jakarta.
Konten ini diolah dengan bantuan AI.
sumber : antara
