TEMPO.CO, Jakarta - Penentuan awal bulan Hijriah, terutama Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah, merupakan salah satu hal yang selalu menjadi perhatian umat Islam di seluruh dunia. Ilmu astronomi dan metode rukyat menjadi dua pendekatan utama dalam penetapan hilal, yang sering kali menimbulkan perbedaan pandangan.
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaludin mengatakan bahwa ilmu astronomi dan ilmu falak berperan penting dalam menentukan posisi hilal secara ilmiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Thomas mengatakan astronomi adalah ilmu yang mempelajari benda-benda langit, termasuk pergerakan matahari dan bulan, sedangkan ilmu falak merupakan bagian dari astronomi yang dikaitkan dengan dalil-dalil syariah untuk keperluan ibadah umat Islam.
“Dalam menentukan hilal, ilmu astronomi digunakan untuk menghitung posisi bulan, tinggi hilal, serta jarak bulan dari matahari untuk memprediksi apakah hilal dapat teramati atau tidak,” ujar Thomas melalui keterangan tertulis, Senin, 24 Februari 2024.
Ia menambahkan bahwa dalam Islam penentuan awal bulan Hijriah awalnya dilakukan melalui metode rukyat atau pengamatan hilal langsung. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW, yaitu "Berpuasalah jika melihat hilal dan berbukalah jika melihat hilal."
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, metode hisab atau perhitungan astronomi mulai digunakan untuk memperkirakan posisi hilal sebelum dilakukan pengamatan. Thomas menegaskan bahwa metode hisab telah berkembang sangat pesat dan memiliki tingkat akurasi tinggi. “Saat ini perhitungan astronomi sudah sangat akurat, bahkan untuk gerhana matahari atau bulan dapat dihitung hingga hitungan detik,” katanya.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa meskipun hisab sangat akurat, sebagian besar umat Islam masih menginginkan pembuktian dengan rukyat. Perbedaan penetapan awal bulan Hijriah sering kali bukan disebabkan oleh perbedaan metode hisab dan rukyat, melainkan karena adanya perbedaan kriteria yang digunakan oleh berbagai organisasi Islam dan pemerintah.
Di Indonesia, misalnya, kriteria yang digunakan oleh pemerintah berbeda dengan Muhammadiyah, tetapi sama dengan beberapa ormas Islam lainnya. Perbedaan ini menyebabkan perbedaan dalam menentukan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha.
Selain itu, faktor geografis dan kondisi cuaca juga berpengaruh dalam metode rukyat. Hilal yang sangat tipis dapat terhalang oleh cahaya senja atau cuaca mendung, sehingga sulit diamati dengan mata telanjang. “Salah satu tantangan terbesar dalam rukyat adalah kontras cahaya. Hilal sangat tipis dan sering kali kalah terang dibandingkan cahaya senja,” kata Thomas.
Untuk mengatasi kendala ini, teknologi astronomi terus dikembangkan guna meningkatkan keakuratan pengamatan hilal. Salah satu teknologi yang kini digunakan adalah teleskop dengan kamera digital dan pemroses citra image stacking, yang dapat meningkatkan kontras citra hilal dengan cara menumpuk ratusan gambar dalam satu frame. “Teknologi ini memungkinkan hilal yang sangat redup dapat terlihat lebih jelas,” katanya.
Thomas juga menjelaskan perbedaan penentuan awal bulan Hijriah antara Indonesia dan Arab Saudi. Secara logika, Indonesia yang berada lebih ke timur seharusnya lebih dulu menetapkan awal bulan.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir Arab Saudi lebih dahulu menetapkan Idul Fitri atau Idul Adha. “Hal ini lebih disebabkan oleh perbedaan keputusan pemerintah masing-masing negara, bukan karena perbedaan metode hisab atau rukyat,” ucapnya.
Terkait perkembangan terbaru, Thomas mengungkapkan bahwa sejak 2021 pemerintah dan ormas Islam di Indonesia telah memperbarui kriteria penentuan hilal, yakni tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Muhammadiyah yang sebelumnya menggunakan kriteria kalender Hijriah global tunggal, kini kembali menggunakan metode wujudul hilal. Meskipun demikian, perbedaan penetapan awal bulan Hijriah kemungkinan tetap akan terjadi.
Sebagai lembaga riset nasional, tambahnya, BRIN memiliki peran penting dalam pengembangan ilmu astronomi untuk mendukung penentuan hilal yang lebih akurat dan ilmiah. Melalui Pusat Riset Antariksa, BRIN memberikan dukungan untuk pemantauan hilal yang lebih berkualitas sebagai masukan bagi sidang isbat Kementerian Agama.
“Kami terus memberikan masukan berdasarkan riset dan inovasi astronomi untuk memastikan bahwa metode yang digunakan dalam penentuan hilal semakin akurat dan dapat diterima oleh semua pihak,” ucap Thomas.
Dengan edukasi yang terus dilakukan oleh lembaga riset dan pemerintah, diharapkan perbedaan dalam penetapan awal bulan Hijriah ada titik temunya, serta masyarakat dapat lebih memahami metode ilmiah dalam penentuan hilal.
Prediksi Awal Ramadan 1446H
Berdasarkan analisis garis tanggal, pada 28 Februari 2025 saat magrib di wilayah Indonesia menunjukkan posisi bulan telah memenuhi kriteria MABIMS di wilayah Aceh, dengan posisi bulan di Banda Aceh sebagai berikut: Tinggi toposentrik 4,5o, Elongasi geosentrik: 6,4o sedikit melebihi kriteria MABIMS Tinggi >3o, elongasi >6,4o.
Dengan kondisi seperti ini di Aceh, awal Ramadhan di kalender hijriyah adalah 1 Maret 2025. Tetapi karena hanya wilayah Aceh yang telah memenuhi kriteria dan mengingat cuaca mungkin mendung, ada kemungkinan gagal rukyat, jadi berpotensi 1 Ramadan jatuh pada 2 Maret 2025. Namun demikian, penetapan awal Ramadan 1446H menunggu hasil sidang isbat yang dilakukan oleh Kementerian Agama.