TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pihak menyoroti grup punk asal Purbalingga, Sukatani, yang secara tiba-tiba mengumumkan bahwa mereka menarik lagu berjudul ‘Bayar Bayar Bayar’ dari semua platform pemutar musik.
Tak hanya itu, dua personel band Sukatani, yakni gitaris Muhammad Syifa Al Lufti dan vokalis Novi Citra Indriyati, juga menyampaikan permohonan maaf kepada Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan institusi kepolisian, ihwal lagu mereka yang memuat lirik berisi kritik terhadap anggota kepolisian yang melanggar aturan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak Kapolri dan institusi Polri atas lagu ciptaan kami dengan judul Bayar Bayar Bayar, yang dalam liriknya (ada kata) bayar polisi yang telah kami nyanyikan sehingga viral di beberapa platform media sosial,” kata Lutfi dikutip dari Instagram @sukatani.band.
Hal yang terjadi pada band Sukatani ini menuai berbagai reaksi dari sejumlah pihak. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bahkan menilai hal ini sebagai tindakan pembungkaman. Berikut ragam reaksi setelah band Sukatani minta maaf ke Kapolri soal laggu tentang polisi.
YLBHI Nilai Penarikan Lagu Sukatani Anti-Kritik
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan penarikan lagu Sukatani merupakan bentuk tindakan yang anti kritik dan pembungkaman terhadap ekspresi serta kebebasan seni. Isnur melihat ini sebagai gambaran otoritarian yang dilakukan kepolisian dan pemerintah.
Isnur membandingkan peristiwa penarikan lagu Sukatani itu dengan bredel karya seperti era orde baru. “Ini sangat berbahaya. Untuk demokrasi dan melanggar konstitusi kita,” kata Isnur melalui pesan suara kepada Tempo, Kamis.
Dia juga meminta Divisi Profesi dan Pengamanan Polri turun tangan memeriksa polisi yang diduga mengancam dan mengintimidasi band Sukatani. “Kepolisian harus terbuka jangan tipis kupingnya,” ucapnya.
Menurut dia, dugaan ikut campur polisi dalam mengawasi muatan konten artis rawan pelanggaran konstitusi. Isnur juga menilai ini bahaya bagi ruang demokrasi. “Ini bentuk antikritik dan antisense. Ini sangat berbahaya perkembangan seni, intelektual, dan demokrasi Indonesia,” tuturnya.
PBHI Minta Kapolri Turun Tangan
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani meminta Kapolri Listyo Sigit Prabowo turun tangan perihal dugaan ancaman yang dilakukan anak buahnya kepada band Sukatani. “Kami menduga kuat ada ancaman melalui strategi intelijen, diam ditangani sehingga dia minta maaf dan menarik karya seninya dan itu pelanggaran Hak Asasi Manusia,” ujar Julis Ibrani pada Kamis, 20 Februari 2025.
Julis menekankan jika benar ada anggota polisi merepresi Sukatani karena mengekspresikan kritik lewat lagu, maka jelas mereka melakukan pembangkangan kepada Kapolri. “Karena Sigit juga pernah mengatakan siapa yang mengkritik polisi paling keras dia akan dijadikan duta untuk mengkritik polisi,” ujar dia.
Band Taktis Cemas Ruang Musisi Dikekang
Anggota band alternative/punk Taktis, Arif Kurniawan, cemas ruang bagi musisi akan lebih dipantau dan dikekang. “Alhasil, kebebasan berekspresi akan dibatasi. Ini bentuk anti kritik,” kata pentolan grup asal Bogor ini melalui pesan pendek kepada Tempo.
Selain itu, sejumlah musisi di media sosial, seperti Baskara Putra dari Hindia dan rapper Tuan Tiga Belas turut menyayangkan penurunan karya Sukatani. Mereka meresahkan intimidasi dan semakin terbatasnya kebebasan untuk para artis. “Ada lagu udah mulai kena bredel. Sedih banget denger kabarnya. 1312,” tulis Baskara dalam unggahan di akun X pribadinya.
Koalisi Reformasi untuk Kepolisian Duga Ada Permintaan dari Polri
Koordinator Koalisi Reformasi untuk Kepolisian Aulia Rizal menyayangkan penarikan lagu bernada kritik tersebut. Aulia mengatakan kuat dugaan permintaan itu datang dari institusi Polri. “Sebagai lembaga publik, lagu itu merupakan bentuk kritikan terhadap Kepolisian, harusnya dijadikan evaluasi dan refleksi,” kata Aulia saat dihubung, Kamis, 20 Februari 2025.
Aulia mengatakan apa yang disampaikan Sukatani dalam lirik lagu tersebut adalah rahasia umum atau notoire feiten notorious. Aulia mengatakan lagu itu relevan menggambar kondisi Polri yang belakang didera banyak persoalan.
Dia mengatakan, dengan keberadaan lagu bernada kritik, sudah saatnya korps Bhayangkara berbenah dan melakukan reformasi secara menyeluruh. “Apa yang disampaikan dalam lirik lagu itu tentu bukan hal yang asing, sudah menjadi pengetahuan umum dan untuk itu reformasi di tubuh kepolisian mendesak dilakukan,” katanya
Di lain sisi, Aulia menilai ada indikasi pembatasan terhadap kebebasan berekspresi yang disampaikan melalui lagu. Padahal, dia melanjutkan, kebebasan berekspresi juga mencakup kebebasan berkesenian. Ia dijamin dalam Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia. “Karya sebagai media kritik tidak bisa dibatasi dan merupakan bentuk dari kebebasan berekspresi,” ujar Aulia.
Daniel Ahmad Fajri, Jihan Ristiyanti, dan Nandito Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.