Ramai Kritik atas Penugasan Prajurit TNI untuk Pengamanan Kejaksaan

7 hours ago 15

TNI akan mengerahkan prajuritnya untuk pengamanan kejaksaan. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengonfirmasi pengerahan personel TNI untuk pengamanan ini termasuk bagi Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia.

Dia menuturkan pengamanan itu bentuk kerja sama antara TNI dan kejaksaan. “Benar ada pengamanan yang dilakukan oleh TNI terhadap kejaksaan hingga ke daerah. Di daerah sedang berproses,” kata Harli melalui pesan pendek kepada Tempo pada Ahad, 11 Mei 2025.

Pengamanan kejaksaan oleh personel TNI itu mengacu pada Telegram Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto pada 5 Mei 2025 dan Nota Kesepahaman NK 6/IV/2023 yang diteken pada 6 April 2023. Isi telegram itu menyatakan TNI mendukung kelancaran dan keamanan dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum, baik di Kejati yang mengawasi hukum di tingkat provinsi, maupun Kejari yang menangani wilayah kabupaten/kota.

Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Mayor Jenderal Kristomei Sianturi mengatakan pengerahan prajurit dalam keamanan kejaksaan adalah kerja sama resmi. TNI dan Kejaksaan RI membuat kesepakatan yang tertuang dalam Nota Kesepahaman Nomor NK/6/IV/2023/TNI tanggal 6 April 2023.

“Segala bentuk dukungan TNI tersebut dilaksanakan berdasarkan permintaan resmi dan kebutuhan yang terukur, serta tetap mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku,” kata Kristomei melalui keterangan tertulis pada Ahad.

Nota Kesepahaman itu mencakup 8 lingkup kerja, yaitu:

  1. Pendidikan dan pelatihan;
  2. Pertukaran informasi untuk kepentingan penegakan hukum;
  3. Penugasan prajurit TNI di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia;
  4. Penugasan jaksa sebagai supervisor di Oditurat Jenderal TNI;
  5. Dukungan dan bantuan personel TNI dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Kejaksaan;
  6. Dukungan kepada TNI di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, meliputi pendampingan hukum, bantuan hukum litigasi dan nonlitigasi, penegakan hukum, serta tindakan hukum lainnya;
  7. Pemanfaatan sarana dan prasarana dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi sesuai kebutuhan;
  8. Koordinasi teknis penyidikan dan penuntutan serta penanganan perkara koneksitas.

ISDS: Penugasan TNI di Kejaksaan Adalah Penyimpangan

Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) menyoroti kebijakan penugasan personel TNI dalam pengamanan kejaksaan. ISDS menilai kebijakan itu dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara militer dan aparat penegak hukum sipil.

“Kerja sama sipil-militer adalah hal yang baik dilakukan di negara mana pun. Akan tetapi, kerja sama tersebut, terutama di negara modern, membutuhkan pembagian tugas yang jelas,” ujar Co-Founder ISDS Dwi Sasongko melalui keterangan tertulis pada Senin, 12 Mei 2025.

Dwi menilai dua poin dalam nota kesepahaman tersebut perlu dikaji ulang karena menimbulkan ruang abu-abu dalam pelaksanaannya, yaitu poin 3 dan 5, yaitu pertukaran informasi untuk kepentingan penegakan hukum serta penugasan jaksa sebagai supervisor di Oditurat Jenderal TNI.

Dia menuturkan Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) sudah diatur sebelumnya. Adapun Surat Telegram Panglima TNI untuk Pam Kejaksaan tidak tepat karena tidak termasuk dalam tugas pokok TNI, baik Operasi Militer untuk Perang (OMP) maupun Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Dwi mempertanyakan dasar penugasan tersebut bila tak ada ancaman militer nyata. “TNI adalah alat pertahanan negara yang tugasnya adalah di bidang pertahanan. Apakah ada ancaman militer yang mengancam kedaulatan RI di kejaksaan? Apabila tidak ada, untuk apa penempatan TNI di kejaksaan? Bahkan bisa menimbulkan pertanyaan masyarakat tentang kondisi negara," tutur dia.

Untuk poin 5, dia mengatakan juga perlu dijelaskan lebih lanjut apa bentuk dukungan dan bantuan personel TNI di kejaksaan, mengingat kejaksaan adalah bagian dari aparat penegak hukum, sementara TNI bukan bagian dari aparat penegak hukum.

Dwi menegaskan, penugasan TNI di luar aspek pertahanan adalah bentuk penyimpangan. “Kesimpulannya, penugasan TNI di luar aspek pertahanan, tidak hanya tidak sesuai dengan UU TNI, tetapi juga menggerus profesionalisme TNI dan moral prajurit TNI,” kata dia.

Setara Institute: Bertentangan dengan Konstitusi dan Undang-undang

Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi mengecam keputusan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang memerintahkan pengerahan pasukan untuk mendukung pengamanan kejaksaan di seluruh Indonesia. Dia menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan konstitusi dan sejumlah undang-undang yang mengatur relasi militer dan institusi sipil.

“Surat Telegram Panglima TNI dan KSAD itu bertentangan dengan Konstitusi Negara dan peraturan perundang-undangan, terutama UU Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara, dan UU TNI. Panglima TNI dan KSAD hendaknya segera menarik dan membatalkan ST (surat telegram) tersebut,” kata Hendardi dalam pernyataannya pada Senin.

Hendardi mempertanyakan urgensi dan dasar hukum keputusan tersebut. Dia menilai tidak ada situasi objektif yang memerlukan dukungan militer untuk menjaga keamanan kejaksaan.

Menurut dia, langkah kejaksaan itu sebagai bagian dari upaya membangun kolaborasi kelembagaan dengan TNI yang sarat kepentingan politik. “Dukungan pengamanan kejaksaan oleh TNI malah memunculkan pertanyaan tentang motif politik apa yang sesungguhnya sedang dimainkan,” kata Hendardi. 

Dia menambahkan kejaksaan seharusnya menjadi bagian dari sistem hukum pidana yang sepenuhnya sipil, bukan melibatkan militer dalam pelaksanaan tugasnya. Dia menyebutkan telegram tersebut justru memperlihatkan kecenderungan menguatnya militerisme dalam sistem penegakan hukum nasional. 

Dia mengingatkan, menurut hukum positif Indonesia, TNI hanya memiliki yurisdiksi penegakan hukum di lingkungan internal militer melalui sistem peradilan militer yang juga sudah seharusnya direvisi. “Panglima TNI dan jajarannya seharusnya berfokus pada revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, bukan justru menarik TNI ke ranah penegakan hukum sipil,” ujarnya.

Dia menegaskan supremasi hukum dan supremasi sipil adalah prinsip utama dalam tata kelola pemerintahan demokratis yang tidak boleh dikompromikan.

Sementara itu, Kejaksaan Agung membantah pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang menyatakan pengerahan TNI di lingkungan Kejati dan Kejari dapat memperkuat intervensi militer di ranah sipil, khususnya di wilayah penegakan hukum.

“Intervensi yang mana? Tugasnya (TNI yang diperbantukan) kan cuma pengamanan kantor. Tidak berkaitan dengan substansi penanganan perkara,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar saat dikonfirmasi pada Ahad.

Lesperssi: Rentan Ulangi Dwifungsi TNI

Adapun pengamat militer dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Beni Sukadis, mengkritik langkah TNI yang dilibatkan dalam pengamanan kejaksaan. Dia menilai keterlibatan ini berpotensi menabrak prinsip-prinsip dasar reformasi sektor keamanan dan membuka ruang bagi militerisasi dalam penegakan hukum sipil.

Dia menuturkan tugas pokok TNI sesuai dengan UU TNI adalah menjaga kedaulatan, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi segenap bangsa dari ancaman militer. “Di luar itu, keterlibatan TNI hanya dimungkinkan melalui mekanisme Operasi Militer Selain Perang (OMSP), dan harus dengan keputusan politik negara seperti keputusan presiden,” ujar Beni pada Senin.

Beni mengingatkan keterlibatan TNI dalam tugas kejaksaan tanpa dasar hukum dan pengawasan yang ketat bisa menciptakan preseden berbahaya bagi demokrasi. “Ini berisiko membuka kembali ruang dwifungsi militer secara terselubung. Kita pernah mengalami masa ketika militer terlalu dominan dalam urusan sipil dan hukum, dan itu masa yang ingin kita tinggalkan pasca-reformasi 1998,” ujar dia.

Menurut dia, kehadiran TNI dalam pengamanan lembaga kejaksaan juga bisa memicu tumpang tindih kewenangan dengan Polri, yang secara hukum bertanggung jawab atas keamanan dalam negeri dan pengamanan objek vital. “Keterlibatan dua institusi bersenjata dalam urusan yang sama bisa menimbulkan kebingungan struktural, bahkan konflik di lapangan,” katanya.

Dia memandang keterlibatan TNI dalam tugas-tugas sipil semacam ini sebagai langkah mundur. “Salah satu semangat utama reformasi adalah membatasi militer hanya di bidang pertahanan. Kalau batas ini dilanggar, kita berisiko mengikis prinsip supremasi sipil atas militer,” ucapnya.

Dia menyerukan agar segala bentuk dukungan militer terhadap lembaga penegak hukum sipil harus berada dalam kerangka hukum yang tegas dan diawasi secara ketat agar tidak menyimpang dari semangat reformasi.

Daniel A. Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Alasan Menteri HAM Dukung Program Dedi Mulyadi Kirim Anak Nakal ke Barak

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |