Remaja Magelang Diduga Korban Salah Tangkap, Dipaksa Ngaku Ikut Demo

3 hours ago 6

Yogyakarta, CNN Indonesia --

Seorang anak bawah umur berinisial DRP (15), diduga jadi korban salah tangkap dan penyiksaan oleh aparat di Kota Magelang, Jawa Tengah.

Selain itu, data pribadi yang bersangkutan juga diduga disebar tanpa izin.

Dalam keterangan yang diterima CNNIndonesia.com, LBH Yogyakarta yang mengawal dan mendampingi korban menyatakan orang tua DRP mengaku tak terima atas perlakuan aparat itu. Sehingga, sambungnya, melaporkan hal tersebut ke Polda Jateng.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Iya hari [Selasa kemarin] ini kita dampingi itu. Ada tim LBH yang hari ini laporan ke Propam," kata Direktur LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia, kepada wartawan, Selasa (16/9).

Dia mengatakan berdasarkan keterangan orang tua korban, DRP saat itu hendak membeli bensin dan melakukan pembayaran jaket dengan kawannya menggunakan metode cash on delivery (COD).

"Kayaknya enggak sampai 24 jam," ujar Julian menjawab pertanyaan berapa lama korban diamankan aparat di kantor polisi.

Sementara itu, mengutip dari detikJateng, ibu korban didampingi pengacara dari LBH Yogyakarta telah melakukan pelaporan dugaan kesewenang-wenangan aparat itu ke Polda Jateng.

Ibu korban, Dita, mengatakan anaknya ditangkap polisi ketika terjadi kerusuhan di depan Polres Magelang Kota saat hari demonstrasi pada 29 Agustus 2025. DRP kini masih berstatus wajib lapor.

Dita menegaskan anaknya sama sekali tak ikut demo, hanya berada di lokasi sekitar aksi yang kemudian disusup kerusuhan tersebut.

"Anak saya sama sekali tidak ikut demo. Malam itu dia hanya ingin berangkat ke acara puncak 17-an di desa. Temannya ajak COD jaket ke sekitar rindam. Tiba-tiba ditangkap sama polisi terus dibawa ke kantor. Besok sore baru dilepas. Anak saya babak belur," kata Dita di Mapolda Jateng, Semarang, Selasa kemarin.

Di lokasi yang sama, penasihat hukum keluarga DRP dari LBH Yogyakarta, Royan Juliazka Chandrajaya, mengatakan pihaknya menyoroti tiga dugaan pelanggaran aparat.

Tiga dugaan pelanggaran aparat itu adalah penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan terhadap anak tanpa pendampingan orang tua, serta penyebaran data pribadi.

"Sehingga dari semua temuan itu Ibu Korban bersama kami memutuskan untuk melaporkan ini dan melanjutkan proses ini ke ranah hukum. Yang dilaporkan Kapolres Magelang Kota dan juga Kasatreskrim Polres Magelang Kota," ujar Royan yang mendampingi ibunda DRP.

"Harapan kami laporan ini segera ditindaklanjuti. Polisi yang terlibat harus diproses hukum. Ini bukan kasus pertama, penyalahgunaan wewenang oleh aparat terus terjadi," sambungnya.

Kronologi versi keluarga korban

Royan kemudian menceritakan secara kronologis saat kliennya ditangkap saat aksi unjuk rasa berujung kerusuhan di depan Polres Magelang Kota pengujung Agustus lalu.

"DRP hanya kebetulan lewat di sekitar lokasi kejadian, lalu ditangkap secara sewenang-wenang. Lehernya dipiting, dibawa ke kantor Polres Magelang," kata Royan.

Royan menyebut DRP sempat diinapkan semalam di Polres tanpa alas tidur, tidak diberi makan, dan dicampur dengan tahanan dewasa.

Selama itu pula, kata Royan, korban diduga mengalami berbagai macam tindak penyiksaan agar mengakui telah terlibat dalam aksi perusakan di Polres Magelang Kota.

"Keesokan harinya DRP dikumpulkan lagi bersama tahanan lain, berbaris, kembali mengalami kekerasan dan pemaksaan, ditampar, dipukul, ditendang, dicambuk menggunakan selang di dada dan punggung, dihantam dengan lutut oleh polisi tanpa alasan yang jelas," urainya.

Belum cukup sampai di situ, karena data pribadi DRP, mulai dari nama lengkap, alamat, asal sekolah, hingga foto ternyata tersebar di grup WhatsApp warga. Data-data itu disertai cap DRP sebagai 'pelaku perusakan'.

Royan mengaku pihaknya masih mendalami siapa dalang penyebaran data pribadi tersebut.

"Foto, nama lengkap, tanggal lahir, alamat, asal sekolah. Itu lengkap sekali. Itu merupakan kategori data yang tidak boleh disebar. (Penyebar) ini kami cari tahu. Terlepas siapapun yang sebar, tapi yang pasti data itu diambil ketika dia dalam Polresta," jelasnya.

Sekalipun tidak ikut aksi, dia mengatakan DRP tetap diwajibkan menjalani wajib lapor dua kali seminggu hingga akhir September.

Rangkaian kejadian ini, kata Royan, telah membuat DRP mengalami trauma mendalam, merasa malu di sekolah, hingga dirundung teman sebaya. Kliennya bahkan sempat terancam dikeluarkan dari sekolah imbas cap pelaku kerusakan.

Terpisah, Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto menegaskan pihaknya berjanji bakal transparan dan profesional dalam menindaklanjuti hal tersebut.

"Silakan buat laporan atau aduan bisa ke Propam atau Direskrimum, nanti surat aduan itu bisa jadi bahan penyelidikan awal. Nanti akan ditindaklanjuti secara transparan dan profesional," kata Artanto di Mapolda Jateng kemarin.

"Monggo silakan lapor, nanti kewajiban dari pihak kepolisian selaku penyidik untuk membuktikan laporan tersebut, bekerja sama dengan pelapor," tegasnya.

(kum/kid)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |