Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2025-2034 Dinilai Membingungkan Investor

3 months ago 86

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pengamat menilai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 yang dirilis pemerintah belum mencerminkan komitmen kuat terhadap transisi energi. Meski pemerintah menargetkan penggunaan energi baru dan terbarukan, RUPTL tersebut dinilai bertolak belakang dengan janji Presiden Prabowo untuk menghentikan penggunaan energi fosil pada 2040.

Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN) Tata Mustasya menyebut rencana penambahan pembangkit batu bara dan gas sebesar 16,6 gigawatt (GW) dalam RUPTL sebagai langkah mundur. Padahal, kata dia, Presiden Prabowo menyampaikan komitmen untuk menghentikan penggunaan energi fosil saat menghadiri forum KTT G20 di Brazil pada tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"RUPTL ini mengirimkan sinyal yang membingungkan ke pelaku usaha, lembaga keuangan, dan masyarakat. Tanpa kejelasan arah kebijakan, upaya transisi energi akan kehilangan pijakan," kata Tata dikutip dari keterangan tertulis, Selasa, 27 Mei 2025. 

Dia menilai target Indonesia untuk menghentikan ketergantungan terhadap energi fosil pada 2040 menjadi semakin sulit tercapai jika rencana seperti ini tetap dijalankan. RUPTL terbaru memang mencantumkan penambahan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) sebesar 42,6 GW dan sistem penyimpanan energi 10,3 GW. 

Kedua komponen itu diklaim menyumbang 76 persen dari total tambahan kapasitas pembangkit. Namun, kata Tata, di saat yang sama, dokumen tersebut juga menyisipkan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebesar 500 megawatt (MW) pada 2032 hingga 2033, serta pembangkit batu bara 6,3 GW dan gas 10,3 GW atau setara 24 persen dari kapasitas tambahan.

Tata menyarankan agar pemerintah meninjau ulang rencana ini dan menyusunnya dalam kerangka industrialisasi hijau. Menurutnya, Indonesia justru berpeluang memimpin sektor manufaktur hijau jika fokus dikonsentrasikan pada pengembangan rantai pasok panel surya, baterai, dan kendaraan listrik. “RUPTL seharusnya menjadi panduan strategis untuk mempercepat industrialisasi berbasis EBT, bukan memberi ruang bagi energi fosil baru,” kata dia.

Pandangan senada juga disampaikan Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira. Bhima menilai RUPTL lebih condong melayani kepentingan industri batu bara dan gas ketimbang mendorong iklim investasi energi bersih. “Pemerintah gagal memberikan arah yang jelas.  Investor akan ragu untuk masuk ke sektor EBT maupun infrastruktur transmisi karena melihat fokus pemerintah masih pada teknologi lama yang mahal dan tidak efisien,” kata Bhima.

Bhima juga mengkritik ketidaksesuaian RUPTL dengan target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen. Menurutnya, RUPTL saat ini tidak mencerminkan strategi ekonomi masa depan yang berbasis inovasi dan keberlanjutan. “Kalau RUPTL seperti ini, jangan berharap bisa menjadi pendorong pertumbuhan atau pencipta lapangan kerja. Pemerintah harus segera merevisi dan mencabut rencana pembangunan pembangkit fosil,” kata dia.

Sementara itu, Sartika Nur Shalati, analis kebijakan dari CERAH, mengingatkan bahwa investasi di pembangkit fosil, khususnya gas, berpotensi menciptakan ketergantungan jangka panjang terhadap infrastruktur dan skema subsidi. Ia mencontohkan pembangunan PLTG umumnya diikuti proyek-proyek pendukung seperti jaringan pipa gas, terminal LNG, dan kontrak pasokan jangka panjang. “Begitu modal sudah tertanam, akan sulit menghentikannya sebelum akhir masa teknis, kecuali dengan kompensasi besar,” kata Sartika.

Ia menilai penambahan PLTU dalam RUPTL saat ini justru memperparah situasi karena pembangkit batu bara telah mendominasi 70 persen kapasitas listrik nasional. “Kita butuh strategi keluar dari batu bara, bukan menambah ketergantungan. Bahkan tanpa tambahan dalam jaringan PLN, PLTU tetap tumbuh lewat captive power,” kata dia.

Pemerintah menargetkan kapasitas pembangkit listrik dari EBT mencapai 42,6 gigawatt (GW) atau 76 persen dari total kapasitas tambahan hingga 2034. Target ini tercantum dalam RUPTL 2025–2034 yang disampaikan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Dari total penambahan 69,5 GW dalam satu dekade ke depan, sebanyak 61 persen berasal dari EBT, 15 persen dari sistem penyimpanan energi (storage), dan 24 persen dari energi fosil.

Bahlil mengatakan pengembangan pembangkit dilakukan dalam dua tahap. Pada lima tahun pertama, porsi pembangkit terdiri atas 45 persen energi fosil, 44 persen EBT, dan 11 persen storage. Kemudian pada lima tahun berikutnya, komposisinya bergeser menjadi 10 persen fosil, 73 persen EBT, dan 17 persen storage. Untuk mendukung transisi energi, pemerintah juga akan membangun jaringan transmisi sepanjang hampir 48 ribu kilometer dan gardu induk berkapasitas 107.950 MVA.

Bahlil menjelaskan, RUPTL ini disusun untuk mendukung ketahanan energi nasional dan pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun. Dia mengatakan pemerintah memproyeksikan permintaan listrik meningkat hingga 205 TWh selama periode 2025–2034 dipicu oleh ekspansi sektor industri, pariwisata, perikanan, serta adopsi kendaraan listrik.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |