TEMPO.CO, Jakarta - Tak ada yang lebih menenangkan selain kembali ke pangkuan masa kecil, ketika dongeng-dongeng mengalir lembut dari mulut ibu atau nenek. Jumbo, film animasi garapan sutradara dan animator Ryan Adriandhy, menghadirkan pengalaman serupa. Hangat, menyentuh, dan membangkitkan nostalgia. Film ini membuktikan bahwa animasi Indonesia mampu mencapai level yang layak bersanding dengan animasi-animasi berstandar internasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Butuh lima tahun bagi tim kreatif dan animator Jumbo untuk merampungkan film ini. Hasilnya tak mengecewakan. Dari segi animasi, Jumbo hadir dengan detail yang kaya. Warna-warna pastel dan palet cerah membangun atmosfer hangat yang mengingatkan pada dongeng sebelum tidur.
Setiap adegan juga dikerjakan dengan presisi, mulai dari tekstur kain, rambut, kulit, hingga pantulan cahaya pada genangan air di jalanan gang sempit. Jika dibandingkan, gaya animasi Jumbo mengingatkan dengan film-film produksi Pixar, namun dengan cita rasa khas Indonesia.
Film animasi Jumbo. Dok. Visinema
Lanskap Khas Indonesia
Latar yang dihadirkan dalam Jumbo juga begitu akrab: panjat pinang di hari kemerdekaan, proyek jalanan, gerobak dorong, hingga perumahan padat penduduk. Tak hanya itu, keberagaman etnis yang ditampilkan menguatkan nuansa lokal yang autentik.
Dengan latar yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, Jumbo terasa seperti buku cerita bagi penontonnya. Anak-anak akan merasa familiar dengan lingkungan yang mereka lihat di sekitar, sementara orang dewasa bisa mengenang kembali masa kecil mereka.
Pesan Kebersamaan dan Isu Sosial
Kisah Jumbo berpusat pada Don (pengisi suara oleh Prince Poetiray dan Den Bagus Sasono), bocah yang sangat menyayangi buku dongeng peninggalan orang tuanya (Ariel NOAH dan Bunga Citra Lestari). Setelah orang tuanya tiada, Don dibesarkan oleh neneknya, Oma (Ratna Riantiarno).
Konflik dimulai ketika buku kesayangan Don dicuri oleh Atta (M. Adhiyat). Bersama dua sahabatnya, Nurman (Yusuf Ozkan) dan Mae (Graciella Abigail), Don berjuang merebut kembali bukunya. Dalam perjalanan itu, mereka bertemu Meri (Quinn Salman), gadis dari dunia lain yang juga mencari orang tuanya (Ariyo Wahab dan Cinta Laura Kiehl).
Film animasi Jumbo. Dok. Visinema
Meski dikemas sebagai film animasi, Jumbo berani menyentuh isu-isu yang lebih kompleks seperti; perundungan anak, pembalasan dendam, rasa kehilangan, dan trauma atau luka masa lalu. Yang paling menarik perhatian adalah karakter Atta, ia bukan sekadar karakter antagonis, melainkan sosok yang kompleks—lahir dari keterbatasan ekonomi dan pengalaman hidup yang cukup.
Sikap nakalnya kepada Don justru berbanding terbalik dengan perilakunya di rumah. Ketika menyaksikan Jumbo, penonton akan mengerti alasan di balik perilaku Atta. Tak hanya Atta, semua karakter yang ditampilkan mempunyai kilas balik cerita yang tidak sempurna. Terutama gambaran anak-anak yang tumbuh tanpa peran orang tua lengkap. Namun, banyak pelajaran tentang sikap dan cara mengikhlaskan yang dituangkan dalam film ini.
Berbeda dengan film animasi lain yang sering kali menghindari tema berat, Jumbo justru menyelipkan isu-isu dan pelajaran penting tanpa kehilangan daya tariknya sebagai tontonan keluarga. Semua dikemas dalam cerita yang tetap ramah anak, memberikan ruang bagi penonton untuk memahami kompleksitas kehidupan dengan cara yang sederhana.
Humor yang disajikan juga terasa sangat Indonesia. Dari dialog hingga ekspresi karakter, semua terasa natural tanpa dipaksakan. Salah satu momen paling menghangatkan lainnya adalah ketika musik dan lagu-lagu ramah anak mengiringi adegan-adegan penting. Terutama lagu ‘Kumpul Bocah’ yang dipopulerkan oleh Vina Panduwinata juga menjadi salah satu lagu yang membangkitkan nostalgia.
Dengan durasi 1 jam 42 menit, Jumbo menawarkan lebih dari sekadar animasi berkualitas. Jumbo sangat menyentuh hati, membangkitkan kenangan masa kecil, dan mengajak penonton merenungkan makna keluarga dan persahabatan. Tidak heran jika Jumbo diproyeksikan untuk tayang di 17 negara. Ini adalah langkah besar bagi animasi Indonesia, membuktikan bahwa industri kreatif dalam negeri mampu bersaing di kancah internasional. Film ini dijadwalkan tayang di bioskop pada Lebaran 2025.