Sampai Mana Perkembangan RUU Perampasan Aset

7 hours ago 9

TEMPO.CO, Jakarta - Wacana pengajuan RUU Perampasan Aset kembali menjadi isu yang hangat. RUU Perampasan Aset dipercaya bisa menjadi solusi atas boroknya kasus mega korupsi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan negara seperti PT Pertamina, PLN, dan Antam. 

Dalam ranah legislatif, perkembangan terakhir RUU Perampasan Aset gagal masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2025. Padahal, RUU Perampasan Aset sebelumnya berhasil masuk prolegnas prioritas 2023 dan 2024 meski juga tidak kunjung dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kilas Balik RUU Perampasan Aset

RUU ini pada awalnya diusulkan pada 2008, RUU Perampasan Aset juga telah mengalami dua kali perubahan draf. Hal ini disebabkan karena adanya pasal yang dianggap kontroversial. RUU ini diinisiasi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. 

RUU Perampasan Aset pun telah keluar masuk dalam Program Legislasi Nasional. Di 2008, Pusat Pelaporab dan Analisis Transaksi Keuangan menginisiasi penyusunan RUU Perampasan Aset tersebut. Lalu, di 2010 draf RUU Perampasan Aset selesai dibahas antarkementerian dan siap diserahkan kepada presiden untuk diusulkan kepada DPR RI.

Selanjutnya, pada 2012 Badan Pembinaan Hukum Nasional diberi mandat menyusun naskah akademik RUU Perampasan Aset tersebut. Lalu pada 2015, DPR memasukkan RUU Perampasan Aset ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah.

Pada 2019 RUU Perampasan Aset kembali diusulkan pemerintah kepada DPR. Hingga tenggat terlewati, pembahasannya tidak kunjung selesai. Kemudian pada 2021, Badan Legislasi DPR menghapus RUU Perampasan Aset dalam daftar prolegnas dengan alasan waktu terlalu singkat.

Kemudian, pada 2023 Presiden Joko Widodo mengirim surat presiden kepada Ketua DPR Puan Maharani agar Senayan segera membahas RUU Perampasan Aset tersebut. Sehingga, RUU Perampasan Aset kembali masuk dalam daftar prolegnas prioritas. Namun, hingga akhir 2023 draf tersebut tidak kunjung dibahas.

Pada 6 Februari 2024, DPR menutup sidang paripurna terakhir tanpa menyinggung soal RUU Perampasan Aset.

Dalam RUU Perampasan Aset, terdapat beberapa pasal yang dianggap krusial. Seperti pada Pasal 2 yang membahas perampasan aset tidak harus melalui proses pemidanaan pelaku. Kemudian di Pasal 3, perampasan aset tidak menghapus penuntutan kepada pelaku pencucian uang dan perampasan itu tidak bisa digugat. Selain itu, pasal-pasal yang dianggap krusial lainnya di Pasal 5, Pasal 7, Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 17.

Pada rapat 18 November 2024, RUU Perampasan Aset tak muncul dalam daftar RUU yang diusulkan DPR RI untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2025. Artinya, perwujudan regulasi penyitaan aset hasil tindak pidana korupsi dan pencucian uang tampaknya masih jauh dari angan.

Secara administrasi, sebenarnya pengusulan regulasi perampasan aset diwenangkan kepada Komisi III Bidang Penegakan Hukum serta Komisi XIII Bidang Reformasi Regulasi dan Hak Asasi Manusia. Namun, istilah “RUU Perampasan Aset” tak terdaftar dalam wacana beleid yang diusulkan kedua komisi tersebut.

Pada pertemuan dengan media di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum di Jakarta Selatan, Rabu, 4 Desember 2024, Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan RUU Perampasan Aset sudah ada di DPR sejak April 2023. Namun pembahasannya tak berjalan lantaran bertepatan dengan momen tahun politik, yakni Pilpres 2024.

Pengamat hukum dan pembangunan Universitas Airlangga (Unair), Hardjuno Wiwoho, menilai persetujuan pengesahan RUU Perampasan Aset membutuhkan keberanian politik dan kolaborasi yang nyata dari DPR. Sebab, kata dia, rencana implementasi mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) atau perampasan aset tanpa pemidanaan melalui pengesahan RUU Perampasan Aset di Indonesia bukan hal mudah.

“Kami terus mendorong political will DPR agar segera menyetujui pengesahan RUU Perampasan Aset tersebut menjadi undang-undang,” kata Hardjuno dalam keterangan di Jakarta pada Rabu, 11 Desember 2024.

Hardjuno pun menggarisbawahi berbagai tantangan yang mungkin muncul dalam penerapan RUU Perampasan Aset nantinya, terutama resistensi dari sektor politik dan birokrasi. Menurut dia, tidak sedikit kasus korupsi melibatkan para aktor kuat di ranah politik dan birokrasi, sehingga diperlukan keberanian dan komitmen yang besar untuk mendorong instrumen tersebut.

UU Perampasan Aset bukan sekadar instrumen hukum untuk memindahkan sejumlah harta kekayaan dari pelaku tindak pidana, tetapi juga merupakan usaha untuk mewujudkan tujuan terbentuknya keadilan dan kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat.

Hendrik Khoirul Muhid, Sapto Yunus, Annisa Febiola, dan Haura Hamidah berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |