TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto didakwa menyuap eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan untuk meloloskan Harun Masiku sebagai Caleg Pergantian Antarwaktu (PAW) DPR 2019-2024. Jaksa Penuntut Umum Komisioner Pemberantasan Korupsi Wawan Yunarwanto menyebut Hasto secara bersama-sama dengan Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku, menyuap Wahyu Setiawan.
Dalam pembacaan dakwaan di sidang perdana itu, JPU membeberkan nominal suap ini berjumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp 600 juta. Selain menyuap, jaksa mendakwa Hasto Kristiyanto menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perintakan penyidikan ini dengan cara memerintahkan Harun Masiku, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah Wahyu Setiawan ditangkap KPK. "Hasto juga memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK," ucap Wawan dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat, 13 Maret 2025.
Dengan demikian, JPU menyatakan Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Jaksa membeberkan kasus bermula saat petugas KPK, pada 8 Januari 2020, menerima informasi perihal komunikasi antara Wahyu dengan mantan narapidana kasus suap PAW Harun Masiku, Agustiani Tio Fridelina, yang menyampaikan adanya penerimaan uang.
Penerima uang diduga terkait dengan rencana penetapan Harun sebagai Anggota DPR terpilih 2019-2024, sehingga petugas KPK mulai mengawasi pergerakan pihak-pihak yang diduga terlibat, yakni Wahyu, Harun, Saeful, Donny, dan Agustiani.
Selang beberapa waktu kemudian, petugas KPK berhasil mengamankan Wahyu di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Pada sekitar pukul 18:19 WIB, Hasto mendapatkan informasi bahwa Wahyu telah diamankan oleh petugas KPK.
Setelah itu, Hasto, melalui Nur Hasan, memberikan perintah kepada Harun Masiku agar merendam telepon genggam miliknya ke dalam air dan memerintahkan Harun untuk menunggu di Kantor DPP PDI Perjuangan dengan tujuan agar keberadaannya tidak bisa diketahui oleh petugas KPK.
Pada sekitar pukul 18.35 WIB bertempat di sekitar Hotel Sofyan Cut Mutia Jakarta, Harun bertemu dengan Nur Hasan. Selanjutnya, menindaklanjuti perintah Hasto dan atas bantuan Nur Hasan, pada jam 18.52 WIB telepon genggam milik Harun tidak aktif dan tidak terlacak.
Berikutnya, petugas KPK memantau keberadaan Harun Masiku melalui pembaruan posisi telepon genggam milik Nur Hasan, yang terpantau pada jam 20.00 WIB bersama dengan Harun berada di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Pada saat bersamaan, Kusnadi selaku orang kepercayaan Hasto, juga terpantau berada PTIK. "Kemudian petugas KPK mendatangi PTIK, namun tidak berhasil menemukan Harun Masiku," ujar JPU.
Selain telepon genggam milik Harun, JPU menyebutkan Hasto juga diduga memerintahkan Kusnadi untuk menenggelamkan telepon genggamnya pada 6 Juni 2024, sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK atas pemanggilan terhadap Hasto untuk menjadi saksi dalam perkara Harun Masiku pada 4 Juni 2024. Menindaklanjuti perintah Hasto tersebut, Kusnadi melaksanakannya. Kemudian pada 10 Juni 2024, Hasto bersama Kusnadi menghadiri panggilan sebagai saksi di KPK.
Sebelum Hasto diperiksa sebagai saksi, JPU menuturkan Hasto menitipkan telepon genggamnya kepada Kusnadi, namun pada saat penyidik KPK menanyakan telepon genggam milik Hasto, ia menjawab tidak memiliki telepon genggam.
Berdasarkan informasi yang diperoleh penyidik KPK, diketahui telepon genggam milik Hasto dititipkan kepada Kusnadi sehingga penyidik melakukan penyitaan telepon genggam milik Hasto dan Kusnadi, tetapi penyidik tidak menemukan telepon genggam milik Kusnadi yang berisi informasi terkait Harun Masiku.