TEMPO.CO, Jakarta - Taman Safari Indonesia menjadi sorotan setelah sejumlah mantan pekerja sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) mengadukan dugaan eksploitasi dan pelanggaran hak asasi manusia kepada Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) di Jakarta Selatan, Selasa, 15 April 2025. Dugaan tindak kekerasan, perbudakan, dan eksploitasi anak yang disampaikan para mantan pekerja diduga terjadi sejak 1970-an oleh para pemilik OCI dan Taman Safari Indonesia.
Delapan perwakilan korban, sebagian besar perempuan paruh baya, menceritakan kronologi mereka dipekerjakan sejak masih anak-anak sebagai pemain sirkus di OCI. Mereka mengaku mengalami berbagai bentuk penyiksaan seperti dipukul, disetrum, dipaksa bekerja dalam kondisi sakit, dipisahkan dari anaknya, hingga dipaksa makan kotoran hewan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tony Sumampau, Komisaris Taman Safari Indonesia sekaligus perwakilan keluarga pendiri OCI, membantah perusahaannya mengeksploitasi para pekerja sirkus OCI. “Apa yang disampaikan sama sekali mengada-ada,” ujar Tony saat dihubungi lewat pesan WhatsApp, Selasa, 15 April 2025.
Terkait dengan kekerasan, Tony menyebutkan kala itu para anak pemain sirkus hanya mendapat pendisiplinan dalam bentuk pukulan. Salah satunya menggunakan rotan. “Pemukulan biasa itu ada aja,” ujarnya dalam konferensi pers.
Dia juga membenarkan bahwa pemain sirkus cilik tidak digaji sejak 1970-an. Namun, kata dia, para pemain itu diberi uang saku dan perusahaan menjamin semua kebutuhan pemain. Mulai dari pakaian, kebutuhan medis, dan uang saku tiap pekan untuk belanja keperluan lain.
“Memang itu tidak diberi gaji, ya. Kami kan dulu juga enggak terima gaji, sama. Masih anak-anak masa terima gaji, gitu ya,” ujar Tony kepada sejumlah awak media di Melawai, Jakarta Selatan, Kamis, 17 April 2025.
Terseret Kasus Perdagangan Ilegal Satwa Dilindungi
Dugaan eksploitasi pekerja ini bukan kasus pertama yang menyeret pihak Taman Safari Indonesia. Dalam laporan Tempo edisi 6 April 2019 berjudul “Jejak Transaksi di Taman Safari,” dilaporkan bahwa perusahaan tersebut diduga terlibat dalam kasus perdagangan ilegal satwa dilindungi.
Pada 15 Januari 2019, Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (Bareskrim Polri) menyita delapan satwa dilindungi dari Taman Safari Bogor. Kedelapan satwa itu adalah elang bondol, kakatua jambul kuning, nuri kepala hitam, nuri kring-kring bukit, beo Papua, musang bendit, musang akar, dan seekor nicobar.
Bareskrim menyita hewan-hewan itu sebagai barang bukti tindak pidana perdagangan satwa dilindungi. “Delapan satwa itu diduga ilegal,” kata Ketua Jakarta Animal Aid Network Benvika menceritakan proses penyitaan itu.
Delapan satwa dilindungi itu milik Abdul Hopir, warga Kota Bandung. Ia adalah pedagang satwa dilindungi di media sosial dalam beberapa tahun belakangan. Hopir menyerahkan sendiri delapan satwa itu ke Taman Safari Indonesia. Menurut surat tanda terima satwa yang diperoleh Tempo, Hopir menyerahkan delapan satwa itu pada 13 Januari 2019
Hopir diduga berniat “memutihkan” delapan satwa ilegal itu ke Taman Safari. Ia seolah-olah berperan sebagai masyarakat yang ingin menyumbangkan satwa koleksi pribadi ke Taman Safari. Dengan cara seperti ini, satwa-satwa itu nantinya berstatus legal.
Satwa-satwa tersebut akan tercatat sebagai hewan yang berada di bawah naungan Taman Safari sebagai lembaga konservasi ex situ, yaitu konservasi satwa liar di luar habitat aslinya. Jejak kelam perburuan ilegal akan terhapus. “Ini sudah jadi modus umum,” ujar Benvika yang akrab disapa Iben itu.
Urusan Abdul Hopir di Taman Safari Indonesia ternyata telah lebih jauh sebelumnya. Tempo mendapatkan dokumen yang menyebutkan Hopir pernah menjual empat ekor kucing emas ke Taman Safari pada Desember 2018. Nilainya mencapai Rp 80 juta. Pemerintah mencantumkan kucing emas sebagai salah satu mamalia yang dilindungi.
Taman Safari Indonesia juga diduga terlibat jaringan perdagangan ilegal lumba-lumba. Femke den Haas, pendiri Jakarta Animal Aid Network, menginvestigasi soal ini pada 2012. Kala itu, ia tengah menginvestigasi berbagai tempat penangkaran lumba-lumba di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Salah satunya Batang Dolphin Center di Desa Klidang Lor.
Tempat penangkaran sekaligus taman hiburan atraksi lumba-lumba itu adalah salah satu unit usaha Taman Safari Indonesia yang berdiri pada 2009. Femke memperoleh informasi dari sejumlah saksi di lapangan bahwa Batang Dolphin Center hanya kedok menyamarkan perdagangan ilegal satwa dilindungi. Modusnya, lumba-lumba yang dibeli dari nelayan menjalani pelatihan, kemudian dijual lagi. “Dijual ke sirkus-sirkus,” ucap perempuan asal Belanda ini, Senin, 1 April 2019.
Nabiila Azzahra dan Mustafa Silalahi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.