Selain Lagu, Ini Karya Seni Lain yang Pernah Dilarang Pemerintah

3 hours ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Penarikan lagu ‘Bayar Bayar Bayar’ milik band asal Purbalingga, Sukatani, dari semua platform pemutar musik menjadi sorotan masyarakat Indonesia. Hal ini diumumkan band beraliran electro-punk itu melalui akun media sosial Instagram @sukatani.band pada Kamis, 20 Februari 2025.

Selain mengumumkan penarikan lagu, kedua personel Sukatani, Muhammad Syifa Al Lufti (gitaris) dan Novi Citra Indriyati (vokalis), juga menyampaikan permohonan maaf mereka kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan institusi Polri. Keduanya mengungkapkan bahwa lagu tersebut ditujukan sebagai kritik terhadap aparat yang melanggar aturan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak Kapolri dan institusi Polri atas lagu ciptaan kami berjudul ‘Bayar Bayar Bayar’, yang dalam liriknya (ada kata) 'Bayar Polisi' yang telah kami nyanyikan sehingga viral di beberapa platform media sosial,” ujar Syifa atau yang kerap dikenal dengan nama panggung Al alias Alectroguy dalam unggahan tersebut

Pernyataan tersebut menimbulkan spekulasi bahwa kedua personel band itu mendapatkan tekanan dari polisi. Melansir dari laporan Tempo berjudul “Mengapa Lagu Bayar Bayar Bayar Band Sukatani Tik Bisa Dipidanakan,” disebutkan bahwa hal yang dialami oleh Sukatani bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia.

Sebelumnya, sejumlah musisi dan seniman pernah menghadapi tekanan serupa ketika karya mereka yang berisi kritik menyinggung aparat atau pemerintah. Selain lagu, beberapa karya seni lain, seperti pameran, mural, dan pementasan teater, beberapa waktu belakangan dilarang karena berisi kritik terhadap pemerintah.

Lantas, apa saja karya seni lain yang pernah dilarang karena berisi kritik terhadap pemerintah? Berikut rangkuman informasi selengkapnya.

1. Pembatalan Pameran Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia

Pada Desember 2024, pameran tunggal seniman Yos Suprapto yang bertajuk "Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan" dijadwalkan berlangsung di Galeri Nasional Indonesia. Namun, 10 menit sebelum jadwal pembukaan, pameran ini dibatalkan secara tiba-tiba oleh pihak galeri dengan alasan "kendala teknis yang tidak dapat dihindari". 

Lima dari 30 lukisan karya Yos dituduh bermuatan politik dan vulgar. Kurator pameran pun meminta Yos untuk menurunkan lukisan-lukisan tersebut. Yos menolak permintaan tersebut sehingga memilih membawa pulang seluruh karyanya ke Yogyakarta. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyesalkan penundaan ini dan menekankan pentingnya kebebasan berekspresi dalam seni. 

2. Penolakan Pementasan Teater "Wawancara dengan Mulyono" di ISBI Bandung

Kelompok teater ternama, Teater Payung Hitam, mengalami hambatan dalam pementasan karya mereka yang berjudul Wawancara dengan Mulyono. Awalnya, pertunjukan ini dijadwalkan berlangsung pada 15-16 Februari 2025 di Studio Teater Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Namun berbagai kendala muncul yang mengakibatkan pembatalan pementasan ini.

Pihak Rektorat menolak pementasan tersebut dengan alasan menjaga netralitas kampus dari kepentingan politik praktis. Meski telah ada upaya komunikasi antara pihak teater dan rektorat, pementasan tetap dibatalkan serta pintu lokasi acara disegel oleh pihak kampus.  

3. Penghapusan Mural Kritik di Pasuruan

Pada Agustus 2021, sebuah mural dengan tulisan “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit" muncul di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Mural ini segera dihapus oleh pemerintah setempat melalui petugas Satuan Polisi Pamong Praja, dengan alasan gambar dan tulisan tersebut dianggap tidak patut dan mengganggu konsentrasi pengguna jalan. Pemberangusan ini menuai kritik dari berbagai pihak, terutama komunitas seniman, yang menilai penghapusan tersebut sebagai bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi 

4. Penghapusan Mural Kritik di Berbagai Daerah di Indonesia

Pada periode Agustus hingga September 2021, sejumlah mural bernada kritik terhadap pemerintah dihapus oleh aparat di berbagai daerah, termasuk di Tangerang, Yogyakarta, Karawang, dan Bandung. Mural-mural tersebut dianggap mengandung pesan yang tidak sesuai dengan pandangan pihak berwenang sehingga dilakukan penghapusan. Tindakan ini memicu perdebatan mengenai kebebasan berekspresi dan batasan kritik terhadap pemerintah di ruang publik.

Intan Setiawanty, Karunia Putri, Titik Nurmalasari berkontribusi terhadap penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |