Setelah Rodrigo Duterte, Ini Daftar Pemimpin yang Paling dicari ICC

16 hours ago 12

FILIPINA menangkap mantan Presiden Rodrigo Duterte yang berapi-api pada Selasa atas permintaan Mahkamah Pidana Internasional (ICC), sebuah langkah besar dalam penyelidikan badan dunia tersebut terhadap ribuan pembunuhan dalam "perang melawan narkoba" berdarah yang menentukan masa kepresidenannya, Reuters melaporkan. Jika dipindahkan ke Den Haag, dia bisa menjadi mantan kepala negara pertama di Asia yang diadili di ICC.

ICC adalah sebuah mahkamah internasional yang didirikan pada 2002 untuk mengadili kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan agresi ketika negara-negara anggota tidak mau atau tidak mampu melakukannya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mahkamah ini dapat mengadili kejahatan yang dilakukan oleh warga negara anggota atau di wilayah negara anggota oleh aktor lain. Memiliki 125 negara anggota. Anggaran pengadilan untuk 2025 adalah sekitar 195 juta euro ($202 juta).

Menurut Reuters, para hakim ICC telah menjatuhkan 11 vonis bersalah dan empat vonis bebas. Dua puluh satu orang telah ditahan di pusat penahanan ICC di Den Haag dan telah hadir di pengadilan, sementara 30 orang masih buron. Tuduhan telah dibatalkan terhadap tujuh orang karena kematian mereka.

Dari 11 vonis tersebut, hanya enam vonis yang merupakan kejahatan inti pengadilan yaitu kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, sedangkan yang lainnya merupakan kejahatan seperti gangguan terhadap saksi. Keenam terpidana tersebut semuanya adalah pemimpin milisi Afrika dari Republik Demokratik Kongo, Mali dan Uganda. Hukumannya berkisar antara sembilan hingga 30 tahun penjara. Hukuman maksimum yang mungkin dijatuhkan adalah penjara seumur hidup.

Berikut nama-nama pemimpin yang paling dicari oleh ICC:

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu

ICC telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang dituduh bertanggung jawab secara kriminal atas tindakan-tindakan termasuk pembunuhan, penganiayaan, dan menggunakan kelaparan sebagai senjata perang dalam konflik Gaza.

Pemimpin Israel menolak keputusan tersebut sebagai "anti-Semit" dan mengatakan bahwa tuduhan tersebut tidak masuk akal dan salah. Penangkapan terhadap Netanyahu dianggap tidak mungkin. Israel mendapat dukungan kuat dari Amerika Serikat dan sebagian besar negara Eropa.

AS bahkan telah mengeluarkan sanksi terhadap sanksi terhadap ICC. Presiden Donald Trump menuduh pengadilan dunia itu terlibat dalam "tindakan tidak sah dan tidak berdasar yang menargetkan Amerika dan sekutu dekat kami, Israel."

Presiden Rusia Vladimir Putin

ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin pada Maret 2023, menuduhnya melakukan kejahatan perang dengan mendeportasi ratusan anak dari Ukraina secara ilegal.

Kremlin menyebut langkah tersebut tidak ada artinya dan berulang kali membantah tuduhan bahwa pasukannya telah melakukan kekejaman selama invasi ke negara tetangganya. Putin adalah presiden ketiga yang mendapatkan surat perintah penangkapan dari ICC, setelah Omar al-Bashir dari Sudan dan Muammar Gaddafi dari Libya.

Rusia bukan penandatangan Statuta Roma. Seperti Netanyahu, penangkapan Putin juga dianggap sulit dilaksanakan karena ia hanya bepergian ke negara-negara sekutunya, seperti Korea Utara dan Mongolia, yang menolak untuk menangkapnya.

Mantan Presiden Sudan Omar Bashir

Council on Foreign Relations melansir pada Maret 2009, ICC mendakwa Presiden Sudan Omar al-Bashir karena mendalangi kampanye kekerasan massal-termasuk pembunuhan, penyiksaan, dan pemerkosaan-terhadap kelompok-kelompok etnis non-Arab di wilayah Darfur sejak tahun 2003. Dia adalah presiden pertama yang masih menjabat dari sebuah negara yang didakwa oleh ICC.

Sudan, yang bukan merupakan negara peserta Statuta Roma dan tidak mengakui pengadilan tersebut, tidak menyerahkannya. Uni Afrika (AU) juga menolak surat perintah tersebut, dengan alasan bahwa ICC memiliki bias terhadap negara-negara Afrika, dan menyerukan kepada negara-negara anggota untuk tidak menangkap Bashir jika ia diterima di negara mereka.

Pada April 2019, setelah berbulan-bulan protes rakyat, militer Sudan memaksa Bashir untuk mundur dan menangkapnya, meskipun mereka mengatakan tidak akan menyerahkannya ke ICC. Tentara mengatakan bahwa mantan diktator tersebut dipindahkan dari penjara ke rumah sakit militer pada April tahun lalu.

Panglima Perang Uganda Joseph Kony

Kony, pendiri dan pemimpin Tentara Perlawanan Tuhan (LRA), adalah buronan terlama ICC. Surat perintah penangkapan dikeluarkan untuknya pada tahun 2005.

Para hakim ICC pada awal tahun ini mengambil keputusan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mengizinkan jaksa penuntut mengajukan sidang atas tuduhan terhadapnya secara in absentia.

Jaksa penuntut ingin mendakwa Kony dengan 36 dakwaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan, pemerkosaan, penggunaan tentara anak, perbudakan seksual, pernikahan paksa dan kehamilan paksa.

Saif al-Islam Gaddaffi

ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk putra mantan Presiden Libya Muammar Gaddafi pada 2011 bersama dengan ayahnya, yang ditangkap dan ditembak pada Oktober tahun itu.

Beberapa hari setelah ayahnya terbunuh, Saif al-Islam Gaddafi ditangkap oleh para pejuang dari Zintan, di mana dia tetap ditahan sampai dia dibebaskan di bawah undang-undang amnesti pada 2017.

Dalam beberapa tahun terakhir, ia telah mencoba mencalonkan diri dalam pemilihan presiden di Libya, yang ditunda pada 2021 dan belum pernah diadakan lagi.

Dalam sebuah twist yang aneh, jaksa penuntut ICC saat ini, Karim Khan, adalah pengacara pembela Saif di ICC selama lebih dari satu tahun sampai ia mengundurkan diri pada 2018. Khan menjadi jaksa penuntut utama ICC pada 2021.

Mantan Presiden Pantai Gading Laurent Gbagbo

Laurent Gbagbo menjadi mantan kepala negara pertama yang diadili di ICC, atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan pada tahun 2010 dan 2011. Diperkirakan tiga ribu orang terbunuh setelah Gbagbo menolak untuk mengakui kekalahan dalam pemilihan umum nasional dan mengundurkan diri.

Gbagbo ditangkap pada April 2011 di tengah intervensi militer Prancis dan PBB dan dia menghadapi empat tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan dan pemerkosaan. Persidangan Gbagbo, yang awalnya dijadwalkan pada Juni 2012, ditunda setelah tim pembelanya menyatakan bahwa ia sakit karena menjalani "perlakuan kejam dan tidak manusiawi" dalam tahanan.

Persidangan akhirnya dimulai pada 2016, dan Gbagbo divonis bebas pada 2019, dengan alasan pengadilan tidak memiliki bukti yang cukup. Pada 2021, Kamar Banding ICC menguatkan pembebasan tersebut.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |