TEMPO.CO, Jakarta - Kasubdit Pengelolaan Katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Dwi Satrianto menjadi saksi dalam sidang perkara korupsi APD Covid-19.
Ia mengungkapkan, terdakwa Satria Wibowo selaku Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (Dirut PT EKI) sempat memberikan cek bodong dalam pengadaan alat pelindung diri atau APD Covid-19.
Hal ini terungkap dalam tanya jawab antara Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan Dwi. Mulanya Jaksa bertanya, apakah Dwi pernah mendengar PT EKI memberikan cek sebesar Rp 170-an miliar kepada PT Yoon Shin Jaya dan PT GA Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Nilainya saya lupa, tapi saya tahunya belakangan ketika hasil auditnya ditunjukkan ke saya," kata Dwi dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Senin, 10 Maret 2025.
JPU lalu meminta izin kepada majelis hakim untuk membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Dwi. Hakim pun mempersilakannya.
Dalam BAP-nya, Dwi mengatakan Satrio Wibowo cenderung dominan berpendapat dalam rapat. Sedangkan Ahmad Taufik selaku Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PT PPM) tampak pasif.
Dwi menyatakan tidak tahu menahu ihwal alur distribusi APD dari produsen kepada PT EKI dan PT PPM. Namun, ia sempat mendapatkan informasi bahwa PT EKI ditunjuk sebagai auto reseller PT Yoon Shin Jaya dan PT GA Indonesia untuk APD merek BOHO.
"'Saya mendapatkan informasi bahwa pada saat Satrio Wibowo atau PT EKI melakukan pembelian APD dalam jumlah besar serta ditunjuk sebagai auto reseller dari PT Yoon Shin Jaya dan PT GA, Satria Wibowo melakukan pembayaran berupa cek'," kata Jaksa membacakan BAP Dwi. "Namun berdasarkan laporan audit dari BPKP, saya mendapatkan informasi bahwa cek yang diberikan oleh Satrio Wibowo adalah cek bodong'."
Jaksa kemudian menanyakan kebenaran pernyataan Dwi itu. "Saudara mendapatkan informasi dari?"
"Teman-teman BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) yang melakukan audit," jawab Dwi.
Dinukil dari surat dakwaan Satrio Wibowo, cek itu digunakan untuk pembayaran 170 ribu APD merek BOHO dari Kawasan Berikat Bogor. Alat pelindung diri itu merupakan produksi konsorsium pabrik Korea Selatan yang siap ekspor ke negeri ginseng tersebut.
Shin Dong Keun selaku Direktur PT Yoon Shin Jaya lantas menghubungi Ahmad Taufik untuk meminta pertanggungjawaban pembayaran APD tersebut. Namun, Ahmad Taufik mengaku tak tahu menahu.
Satrio Wibowo lantas menghubungi Ahmad Taufik melalui Komisaris PT PPM Siti Fatimah Az Zahra. Satrio mengatakan, ia akan mengurus pembayaran 170 ribu set APD itu.
Kemudian Ahmad Taufik bertemu dengan sejumlah orang dari PT Yoon Shin Jaya, termasuk Shin Dong Keun di kantor PT PPM, Jakarta Timur pada 23 Maret 2020. Satrio Wibowo lalu datang menyusul dan menyampaikan, dirinya lah yang bertanggungjawab atas pembayaran 170 ribu set APD itu.
Masih di Maret 2020, Satrio Wibowo kembali bertemu dengan Shin Dong Keun dan lain-lain. Dalam pertemuan itu, Shin Dong Keun mengatakan harga APD yang sudah diambil itu adalah Rp 270 per set. Satrio pun menyerahkan bilyet giro dari Bank BCA dengan nilai Rp 173.400.000.000 atau Rp 173,4 miliar yang akan dibayarkan pada 30 Maret 2020. Ini sebagai jaminan pembayaran APD.
"Padahal, terdakwa tidak memiliki dana tersebut di rekeningnya," bunyi salah satu poin dalam surat dakwaan Satrio Wibowo.
Kronologi Kasus Korupsi APD Covid-19
Direktur Utama PT EKI Satrio Wibowo, Direktur Utama PT PPM Ahmad Taufik, dan eks Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes Budi Sylvana menjadi terdakwa perkara korupsi APD Covid-19 di Kementerian Kesehatan.
Dilansir dari Antara, ketiganya diduga merugikan negara sebanyak Rp 319,69 miliar. Kerugian ini terjadi akibat perbuatan para terdakwa yang memperkaya Satrio sebesar Rp 59,98 miliar, Ahmad Rp 224,19 miliar, PT Yoon Shin Jaya Rp 25,25 miliar, serta PT GA Indonesia Rp 14,62 miliar.
Ketiganya didakwa melakukan negosiasi harga APD sejumlah 170 ribu pasang tanpa menggunakan surat pesanan. Mereka juga diduga melakukan negosiasi harga dan menandatangani surat pesanan APD sebanyak 5 juta pasang, serta menerima pinjaman uang dari BNPB kepada PT PPM dan PT EKI sebesar Rp 10 miliar untuk membayarkan 170 ribu pasang APD tanpa ada surat pesanan dan dokumen pendukung pembayaran.
Ketiga terdakwa juga diduga menerima pembayaran terhadap 1,01 juta pasang APD merek BOHO senilai Rp 711,28 miliar untuk PT PPM dan PT EKI. Padahal, PT EKI tidak mempunyai kualifikasi sebagai penyedia barang/jasa sejenis di instansi pemerintah serta tidak memiliki izin penyalur alat kesehatan (IPAK).
PT EKI dan PT PPM juga diduga tidak menyiapkan dan menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga kepada PPK. Sehingga melanggar prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah dalam penanganan keadaan darurat, yaitu efektif, transparan, dan akuntabel.
Perbuatan ketiga terdakwa korupsi APD diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pilihan Editor: Permainan di Balik Tuduhan Bensin Oplosan Pertamina