Sosok MH Thamrin: Pramono Anung akan Bikin Patungnya Lebih Besar

7 hours ago 11

TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Jakarta Pramono Anung Wibowo berencana membangun patung baru sosok pahlawan nasional asal Betawi, Mohammad Husni Thamrin di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. Rencana itu dia sampaikan dalam kegiatan Lebaran Betawi di kawasan Monumen Nasional, Gambir, Jakarta Pusat.

“Saya minta izin keluarga MH Thamrin, nanti dalam waktu dekat, akan kami bangun, bukan dipindahkan, akan kami bangun patung MH Thamrin yang representatif,” kata Pramono Anung dalam acara yang juga dihadiri keluarga MH Thamrin pada Sabtu, 26 April 2025 tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat ini, Pramono menyampaikan Jakarta sudah memiliki patung MH Thamrin, yang dibuat pada masa jabatan dua mantan gubernur Jakarta, Sutiyoso dan Fauzi Bowo. Namun, patung itu berlokasi bukan di Jalan MH Thamrin, melainkan di Jalan Medan Merdeka Selatan. Dia juga menyebut ukuran patung itu terlalu kecil

Karena itu, Pramono mengatakan ingin membuat patung M.H. Thamrin yang lebih besar dan menunjukkan sang tokoh sebagai seorang pemikir. Tidak dipindah dan dipugar ke Jalan M.H Thamrin, nantinya, kata dia, patung yang lama akan dimuseumkan di Museum M.H. Thamrin.

“MH Thamrin ini adalah pemikir orang Betawi. Maka saya meminta kepada pematungnya yang akan membuat, buat wajah MH Thamrin dengan tangan dan wajahnya yang sedang berpikir,” ujar mantan sekretaris kabinet Jokowi itu.

Perjuangan MH Thamrin

Dilansir dari Majalah Tempo Edisi Khusus Kemerdekaan Mohammad Hoesni Thamrin terbit Agustus 2024, bagi sebagian orang, MH Thamrin mungkin hanya dikenal sebagai jalan protokol yang menjadi ikon Jakarta. Kerap ditulis dalam pelajaran sejarah sebagai pahlawan Betawi, nama M.H. Thamrin juga baru banyak disebut di seputar hari ulang tahun Jakarta, setiap 22 Juni.

Asma MH Thamrin melekat di kalangan orang Betawi berkat perannya pada 1920-1930-an, yang giat memperjuangkan nasib warga miskin Batavia. Tapi, kontribusinya bagi Indonesia jauh lebih besar dari itu. Tak hanya pernah berkiprah di Dewan Kota Batavia (Gemeenteraad van Batavia), lelaki berdarah Eropa kelahiran 16 Februari 1894 di Sawah Besar, Batavia, itu menjadikan Dewan Rakyat (Volksraad) sebagai medan perjuangannya.

Mula-mula Thamrin masuk Dewan Kota lewat pemilihan pada 1919. Di usia 25 tahun, dia dengan lantang menuntut pemerintah kota memperbaiki kehidupan warga yang tinggal di permukiman padat. Kala itu ia mendorong program kampongverbetering berupa pengerasan dan penerangan jalan, pembuatan saluran air, hingga pembangunan pintu air Manggarai guna mengurangi dampak meluapnya air Sungai Ciliwung yang membelah Batavia.

Thamrin turut menyuarakan buruknya kehidupan masyarakat di pinggiran Batavia yang sering kekurangan makanan dan tinggal berdesakan di pondok sonder ventilasi dan kakus. Semua itu ia sampaikan secara santun dan dilengkapi dengan dokumen pendukung argumentasi. Berkat hal tersebut, Thamrin pun dikenang sebagai tokoh yang membela kaum Betawi.

Pada periode ini hubungan Thamrin dengan Sukarno kian dekat. Mereka pertama kali bersinggungan lewat Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia atau PPPKI, yang berdiri pada 18 Desember 1927 di Bandung. Bung Karno, sapaan Sukarno, mewakili Partai Nasional Indonesia atau PNI, Thamrin mewakili Kaoem Betawi.

Bob Hering, yang terkenal lewat bukunya, Soekarno: Arsitek Bangsa (2012), mengatakan tidak mungkin menulis buku Bung Karno tanpa menulis buku M.H. Thamrin. “Sebab, mereka seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan,” katanya. Maka, pada tahun berikutnya, sejarawan berkebangsaan Belanda yang lahir di Mester Cornelis, Batavia, itu menerbitkan Mohammad Hoesni Thamrin: Membangun Nasionalisme Indonesia.

Buku itu menggambarkan kedekatan kedua tokoh pergerakan kemerdekaan tersebut. Thamrin kerap mengunjungi Bung Karno saat ditahan di penjara Sukamiskin, Bandung, pada Desember 1930-Desember 1931. Bersama Inggit Garnasih, istri Sukarno, Thamrin menjemput sahabatnya itu saat keluar dari jeruji.

Tak jera akan ancaman penjara, Bung Karno melanjutkan aktivitas politiknya, termasuk menerbitkan rangkaian tulisan Mencapai Indonesia Merdeka, yang membuatnya kembali menjadi bidikan polisi. Pada tengah malam 1 Agustus 1933, dia diciduk saat melangkah keluar dari rumah Thamrin di Jalan Sawah Besar—kini Jalan Sukarjo Wiryopranoto, Jakarta Pusat.

“Saat Bung Karno ditahan lagi di Sukamiskin, Thamrin membesuk dan memperjuangkan pembebasannya lewat Volksraad, tapi gagal. Bung Karno dibuang ke Ende, Flores,” tulis Majalah Tempo.

Menurut Bob Hering, kedekatan dua tokoh kemerdekaan itu seharusnya menghapus dikotomi antara gerakan kooperatif dan nonkooperatif. Yang ada hanyalah gerakan kemerdekaan. Thamrin, yang selama ini dijadikan simbol kaum kooperatif, justru menjaga nyala api pergerakan saat Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, dan tokoh nonkooperatif lain ditangkap dan dibuang.

Thamrin menyelamatkan dunia pergerakan di tengah masifnya pengasingan tokoh-tokoh nasionalis. Ia tak hanya menjadi jembatan, tapi juga merekatkan ikatan antara kaum kooperatif dan nonkooperatif. Puncaknya, dia menolak Petisi Soetardjo, yang meminta pertemuan wakil Indonesia dengan Belanda untuk membahas pendirian Indonesia yang otonom di bawah konstitusi Kerajaan Belanda.

Itu terjadi pada Juli 1936, saat Bung Karno berada di pengasingan di Ende, MH Thamrin berjuang di Volksraad. Bagi Thamrin, tuntutan itu mencederai perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di gedung Volksraad, di jantung pemerintahan Hindia Belanda, sembilan tahun sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya Thamrin berteriak lantang, “Indonesia merdeka! Sekarang juga!”

Mohammad Reza Maulana dan Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |