Sritex Tutup: Perjalanan Kasus yang Menimpa Sang Raksasa Tekstil

4 hours ago 8

TEMPO.CO, Jakarta - Akhir perjalanan PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex telah dikonfirmasi dalam Rapat kreditur dalam kepailitan perusahaan ini yang digelar hari ini, Jumat, 28 Februari 2025 yang menyepakati tidak dilaksanakan keberlanjutan usaha atau going concern dan selanjutnya dilakukan pemberesan utang. Selain itu, sebanyak 8.400 karyawannya juga berhenti bekerja mulai 1 Maret 2025. Raksasa tekstil ini diketahui mengalami titik balik kemunduran sejak 2022 lalu, saat digugat oleh salah satu debiturnya. 

Dilansir dari Antara, Hakim Pengawas Pengadilan Niaga Semarang, Haruno Patriadi, mengatakan kesepakatan terhadap PT Sritex diambil berdasarkan atas kondisi-kondisi yang telah disampaikan oleh kurator maupun debitur pailit. "Tidak mungkin dijalankan going concern dengan kondisi yang telah dipaparkan oleh kurator maupun debitur pailit," katanya dalam rapat kreditur kepailitan PT Sritex di Semarang.

Hakim pengawas juga menyatakan PT Sritex sebagai debitur pailit dalam kondisi insolven atau tidak memiliki cukup dana untuk melunasi utang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Kabupaten Sukoharjo menonfirmasi tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dialami karyawan Sritex. "Intinya PHK dan telah diputuskan tanggal 26 Februari," kata Kepala Disperinaker Kabupaten Sukoharjo Sumarno di Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis, 27 Februari 2025 dikutip dari Antara

Meski demikian, ia mengatakan para pekerja Sritex tetap bekerja sampai dengan tanggal 28 Februari. "Off-nya mulai tanggal 1 Maret," ujarnya. 

Perjalanan Kasus Sritex hingga Resmi Ditutup

Sepanjang berdiri selama 59 tahun, Sritex diketahui telah melewati berbagai macam lika-liku yang membawanya hingga meraih kejayaan dengan dikenal sebagai raksasa tekstil. Perusahan ini bahkan selamat dari Krisis Moneter pada 1998 dan mencatatkan banyak prestasi gemilang sepanjang tahun 2000an.

Namun kini Sritex akan segera terkubur bersama kenangannya. Perusahaan ini mulai "jatuh" sejak Januari 2022 ketika  digugat oleh salah satu debiturnya, CV Prima Karya yang mengajukan gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang dilakukan oleh Sritex.

Sritex kemudian menuntaskan rapat kreditur di Pengadilan Niaga Semarang yang menyepakati rencana damai oleh semua kreditur separati. Dengan kesepakatan ini, voting mencapai kuorum sehingga Sritex dan tiga anak usahanya: Sinar Pantja Djaja (SPD), PT Bitratex Industries (BI), dan PT Primayudha Mandirijaya (PM), sukses mendapatkan restrukturisasi. 

Sritex juga diketahui telah memperjuangkan langkah hukum sejak 19 April 2021 saat pertama kali PKPU diajukan. Permohonan itu dikabulkan pada 12 Mei 2021 dengan nomor Putusan 12/Pdt.SusPKPU/2021/PN.Niaga.Smg.

Berdasarkan data Tim Pengurus PKPU Sritex, total tagihan Sritex mencapai Rp26 triliun. Setelah kesepakatan tercapai, Sritex akan merestrukturisasi pokok utang bilateral dan utang sindikasi senilai US$ 344 juta menjadi fasilitas Unsecured Term Loan selama 12 tahun.

Sritex juga akan merestrukturisasi pokok terutang dari utang bilateral dan utang sindikasi senilai US$ 267,2 juta sebagai Secured Working Capital Revolver selama 5 tahun. Sementara itu, pokok utang bilateral dan utang sindikasi akan direstrukturisasi menjadi Secured Term Loan dengan jangka waktu 9 tahun.

Perusahaan tekstil itu pun mampu bangkit dan menangani perkara utangnya dengan baik. Direktur Utama PT Sritex, Iwan (Wawan) Kurniawan Lukminto, saat itu mengungkapkan utilitas Sritex berada pada 70-80 persen yang masih bisa mengekspor produk ke sejumlah negara melalui pasar mereka. Ia juga menyebutkan, alasan industri tekstil pailit atau sedang terpuruk, yaitu faktor internal (dampak pandemi dan daya beli masyarakat menurun) serta eksternal (peperangan, perlambatan ekonomi global, barang masuk dari Cina atau impor, dan regulasi pemerintah).

Pada pertengahan 2024, Sritex kembali diterpa rumor tak sedap yang menyebut perusahaan ini bangkrut. Pihak perusahaan pun menepis kabar tersebut, tetapi mengakui jika pendapatan perseroan menurun drastis. “Tidak benar, karena perseroan masih beroperasi dan tidak ada putusan pailit dari pengadilan,” kata Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam, dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tempo pada Senin, 24 Juni 2024. Penjelasan Welly ini menjadi jawaban untuk bursa efek yang mengirim surat pada 21 Juni 2024 tentang kondisi perusahaan yang dikabarkan terancam gulung tikar.

Seiring dengan berjalannya waktu, Sritex kembali digugat oleh PT Indo Bharat Rayon karena dianggap tidak penuhi kewajiban pembayaran utang yang sudah disepakati. Sritex akhirnya resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Kota pada Semarang. 

Informasi ini dibenarkan oleh Juru Bicara Pengadilan Niaga Kota Semarang Haruno Patriadi yang menyebut bahwa kondisi pailit itu terjadi setelah pengadilan mengabulkan permohonan salah satu kreditur perusahaan tekstil tersebut yang meminta pembatalan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang sudah ada kesepakatan sebelumnya. 

Menurut Haruno keputusan inilah yang mengakibatkan perusahaan berkode saham SRIL itu pailit. "Mengabulkan permohonan pemohon. Membatalkan rencana perdamaian PKPU pada bulan Januari 2022," ujar Haruno pada 23 Oktober 2024, seperti dikutip dari Antara

Pada Rabu, 18 Desember 2024, Mahkamah Agung (MA) juga menolak permohonan kasasi yang diajukan PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex terkait putusan dari Pengadilan Niaga Semarang yang menyatakan perusahaan tersebut pailit. “Amar Putusan: Tolak,” bunyi putusan tersebut seperti dikutip dari laman resmi MA, Kamis, 19 Desember 2024.

Adanya putusan ini membuat status pailit terhadap raksasa tekstil tersebut sah secara hukum atau inkrah. MA juga menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan Sritex.

Dua hari setelahnya, Sritex dilaporkan telah merumahkan ribuan karyawan sebagai dampak dari putusan Pengadilan Niaga Semarang. "Sekitar 3.000 yang dirumahkan, tapi secara berkala terus kami review sampai kapan bisa bertahan," kata Direktur Utama PT Sritex Iwan Kurniawan Lukminto di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat, 20 Desember 2024.

Ia menyebut bahwa ruang gerak perusahaan untuk beroperasi makin sempit menyusul sebagian bahan baku yang harus didatangkan dari luar negeri. 

Pada awal Februari lalu, Kurator kepailitan Sritex mencatat bahwa tagihan utang dari para kreditur perusahaan tekstil tersebut mencapai Rp29,8 triliun. "Daftar piutang tetap para kreditur kami pasang di laman tim kurator Sritex maupun di papan pengumuman Pengadilan Niaga Semarang," kata salah satu Kurator Pailit PT Sritex, Denny Ardiansyah, di Semarang, Sabtu, 1 Februari 2025 dikutip dari Antara

Dalam daftar piutang tetap tersebut tercatat 94 kreditur konkuren, 349 kreditur preferen, serta 22 kreditur separatis. Menurut Denny, daftar tagihan tetap yang telah disampaikan ini bisa menjadi acuan kreditur untuk mengambil sikap selanjutnya dalam proses kepailitan Sritex.

Ananda Ridho Sulistya, Vendro Immanuel G, Rachel Farahdiba, Septia Ryanthie, dan Adil Al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |