TEMPO.CO, Jakarta - Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar diskusi bertajuk “Kembalinya Sejarah Berseragam: Menggugat Negara Kemiliteran dan Kepolisian Republik Indonesia” di Auditorium Mandiri Fisipol UGM pada Rabu, 30 April 2025.
Dilansir dari laman resmi UGM, diskusi tersebut diselenggarakan hasil kerja sama Departemen Sosiologi UGM, Departemen Sosiologi Universitas Indonesia (UI), dan Social Research Center (SOREC) untuk menggali isu menguatnya peran militer dan kepolisian di ranah publik dan pemerintahan sipil.
Relasi Militerisasi dan Reformasi
Arie Sujito, Dosen Departemen Sosiologi UGM mengatakan bahwa perjalanan reformasi Indonesia telah menghapus dwifungsi ABRI dan melarang militer ikut serta dalam agenda politik hingga bisnis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Larangan TNI ini dan Polri untuk berbisnis karena sering terjadi abuse of power karena berdampak pada kemerosotan legitimasi institusi organisasi TNI dan Polri. Itu tidak boleh dilupakan,” katanya.
Menurut Arie, memburuknya demokrasi pasca reformasi terjadi karena reformasi pada sektor pertahanan dan keamanan secara parsial masih sulit diwujudkan, bahkan mengalami kondisi stagnan. “Tak hanya itu, pengaruh informal yang terus ada dan juga pengawasan sipil yang lemah pun menjadi faktor penyebabnya,” ujarnya.
Arie menyatakan bila demokrasi memerlukan peran serta dari seluruh pihak untuk berpartisipasi di dalamnya sehingga peristiwa masa lampau tidak perlu diulang kembali agar dapat terselamatkan. Untuk itu, Arie berharap bila akademisi dan aktivis dapat senantiasa berpikir, berbicara, dan bertindak dalam menyelamatkan demokrasi di Indonesia.
“Ini PR bagi siapapun masyarakat sipil di Indonesia. Kita perlu jernih berpikir, tindakan aktif, emansipasi sosial, membangun konsolidasi politik yang solid, memperbaiki demokrasi Indonesia, agar tidak makin hancur. Sebaliknya wujudkan kembali demokrasi yang kuat dan bermakna,” katanya.
Maka dari itu, Wakil Dekan bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Poppy Sulistyaning Winanti tetap mengingatkan bila memberi kritik terhadap kembalinya militer ke sektor pemerintahan dan sipil tidak harus berhenti walaupun saat ini RUU TNI telah disetujui.
Kegagalan Reformasi dan Kembalinya Militerisasi
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Tapiheru Joash Elisha Stephen menjelaskan bila reformasi hanya berhasil terhadap aspek kelembagaan saja, tetapi gagal membangun legitimasi dan penghayatan warga negara terhadap nilai-nilai publik. Dampak dari kegagalan reformasi menimbulkan masalah remiliterisasi, lemahnya kontrol sipil, dan normalisasi nepotisme politik.
Joash mengatakan Indonesia dapat mempertahankan demokrasi sehat dengan memperkuat nilai-nilai kewargaan serta reposisi militer pada fungsi eksternal.
“Kalau mereka tidak menghayati ke-public-annya, itu artinya mereka juga tidak menghayati bahwa mereka memegang kedaulatan,” katanya.
Di sisi lain, Najib Azca menyoroti kegagalan reformasi partai politik sebagai elemen utama demokrasi menjadi awal mula banyaknya permasalahan yang terjadi saat ini, termasuk lancarnya perwujudan agenda-agenda kontroversial oleh pemangku kebijakan, seperti revisi UU TNI dan Polri. Najib menyoroti bila masyarakat justru masih menerima militer dalam jabatan sipil yang mengindikasikan kuatnya budaya militerisme.
Untuk itu, Indonesia membutuhkan penguatan warga negara dan reformasi politik jangka panjang untuk melawan arus militerisasi dan menjaga kualitas demokrasi ke depannya.
“Jadi saya kira ini yang perlu kita respon dan ya mungkin meskipun agak klise, barangkali penguatan kewargaan demokratik itu menjadi agenda jangka panjang yang perlu terus-menerus dilakukan,” katanya.
Jaleswari Pramodhawardani menimpali dengan berkata kegagalan reformasi juga menyebabkan kemunduran demokrasi atas kembalinya peran militer dan kepolisian dalam urusan sipil. Namun, Dani justru mengemukakan bila tingkat kepuasan terhadap keamanan tinggi walaupun demokrasi menurun.
Selanjutnya, Iwan Gardono menambahkan bila Indonesia masih memiliki pengawasan publik yang lemah, diskresi longgar, dan akuntabilitas rendah yang dapat membuka celah penyalahgunaan kekuasaan. Untuk itu, partisipasi masyarakat sipil dan akademisi menjadi kunci menjaga demokrasi agar tetap berjalan.